BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum Indonesia
yang berlaku dan umumnya dipakai dalam pembahasan tata hukum Indonesia adalah
peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sendiri memiliki
banyak sekali bentuk dan tingkatan menyesuaikan dengan perihal yang diatur
didalamnya. Mengenai bentuk dan tingkatannya menyesuaikan dengan peraturan
undang-undang yang yang secara umum berlaku di dalam masyarakat.
Tidak ubahnya dengan
kegiatan pinjam meminjam yang telah kita ketahui sudah lama dilakukan oleh
masyarakat Indonesia. Dalam pelaksanaannya biasanya dipersyaratkan bahwa adanya
penyerahan jaminan hutang kepada pihak pemberi hutang oleh peminjam. Jaminan
bisa berupa uang atau benda atau juga bisa berupa janji penangguhan hutang
sehingga merupakan jaminan perorangan.
Dalam pelaksanaan penjaminan
juga diperhatikan para pelaku yang harus sesuai dengan hukum atau peraturan
yang telah ditentukan. Yaitu hukum jaminan yang merupakan ketentuan yang
mengatur dengan penjaminan dalam rangka hutang piutang yang dapat terbagi dalam
berbagai bentuk yang telah berlaku saat ini.
Penjaminan adalah
sebagai prinsip kehati-hatian pihak pemberi kredit dan juga menunjukkan
kesungguhan dari penerima kredit dalam pemenuhan kewajibannya. Dengan
dihubungkannya dengan hukum jaminan, hal ini ditujukan untuk perlindungan
pihak-pihak yang berkepentingan. Hukum di Indonesia beragam dengan menyesuaikan
dengan apa yang diatur didalamnya, tidak luput juga mengenai hukum jaminan.
Mengenai hukum jaminan diatur dalam beberapa undang-undang diantaranya
KUHPerdata, KUHDagang, dan undang-undang lainnya yang terkait dimana ditetapkan
secara terpisah.
B. Tujuan Penulisan
Dalam
penulisan makalah ini kami memiliki tujuan yang ingin kami capai yaitu
1.
Memberikan data informasi mengenai aspek
hukum yang terkait didalam beberapa jaminan.
2. Memberikan
informasi hubungan antara hukum jaminan dengan beberapa karakteristik khusus
dalam jaminan tertentu.
BAB
II
MASALAH
DAN METODE PENULISAN
A. Rumusan Masalah
Adapun
masalah yang kami angkat adalah sebaga berikut:
1.
Penggolongan jaminan yang secara umum
dikenal di dalam masyarakat ?
2.
Pembahasan ruang lingkup mengenai
borgtoch atau penanggungan hutang ?
3.
Pembahasan ruang lingkup mengenai gadai
?
4.
Pembahasan ruang lingkup mengenai
jaminan fidusia ?
5.
Pembahasan ruang lingkup mengenai hak
tanggungan ?
6.
Pembahasan ruang lingkup mengenai
hipotek ?
B. Pembatasan Masalah
Pembahasan sebagaimana
disebutkan dalam rumusan masalah di atas, sebaatas mengenai kajian teori secara
umum dan mengenai aspek hukum yang melingkupinya tidak sampai pada pengaturan
realita dalam bisnis dan kasus pada aspek riil.
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini kami melakukan beberapa cara pengambilan data dari data sekunder dan tidak
menggunakan data primer. Adapun cara yang kami tempuh adalah sebagai berikut:
1.
Mengkaji pustaka
Dalam
cara ini kami melakukan kajian terhadap buku-buku yang terkait. Kami melakukan
cara ini di perpustakaan utama dan membaca dari buku-buku dari luar kampus.
2.
Browsing internet
Internet
salah satu alternative kedua setelah mengkaji buku dengan alas an data yang
beragam yang dapat kami compare sehingga dapat mendapat data yang benar dan
dipercaya, selain itu data yang ada di dalam internet beragan, lengkap, komplek
dan terkini. Terutama kami melakukan hal ini dalam pencarian data mengenai
peraturan perundang-undangan mengenai hukum jaminan yang terkait.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Jaminan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari security
of law, zekerheidstelling, atau zekerheidsrechten. Istilah
hukum jaminan meliputi jaminan kebendaan maupun perorangan. Jaminan kebendaan meliputi
utang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan hipotek. Sedangkan jaminan
perorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht).
Sehubungan dengan pengertian, beberapa pakar
merumuskan pengertian umum mengenai hukum jaminan:
a.
Menurut Sri Sudewi Mangun Sofwan
Hukum jaminan adalah
mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan
menjaminkan benda-benda yang dibeli sebagai jaminan. Peraturan
yang demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hukum
bagi lembaga-lembaga
kredit baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Secara Ringkas :
Dalam pemberian jaminan adakalanya benda yang dibeli menjadi jaminan
b.
J Satrio
Hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur
jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur
c.
Salim HS,SH.MS
Hukum jaminan adalah
keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit
d.
Djuhaendah Hasan
Memberikkan
pengertian Hukum Jaminan dan pengertian jaminan yaitu “sarana perlindungan bagi
keamanan kreditur yaitu kepastian akan pelunasan hutang debitur atau
pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur”
Dari beberapa pendapat perumusan pengertian hukum jaminan
di atas dapat disimpulkan inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan penerima
jaminan atau kreditur sebagai pembebanan suatu utang tertentu atau kredit
dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).
Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang
terkandung didalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut:
a.
Serangkaian
ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis
dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan hukum jaminan yang tertulis
adalah ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk
yurisprudensi, baik itu berupa peraturan yang original (asli) maupun peraturan
yang derivatif (turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis
adalah ketentuan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik
penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
b.
Ketentuan hukum
jaminan tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan
(debitur) dan penerima jaminan (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang
berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu, yang menyerahkan suatu
kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur).
c.
Adanya jaminan
yang diserahkan oleh debitur kepada kreditur.
d.
Pemberian jaminan
yang dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan)
bagi pelunasan utang tertentu.
Sumber dan Sistem Hukum
Jaminan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Sumber hukum adalah tempat dimana ditemukan hukum.
Dalam hal ini, hukum jaminan bersumber dari Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek
merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun
1848 berdasarkan asas konkordansi.
Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai hukum kebendaan.
Dilihat dari sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada prinsipnya
hukum jaminan merupakan bagian dari hukum kebendaan, sebab dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai pengertian, cara membedakan benda
dan hak-hak kebendaan, baik yang memberikan kenikmatan dan jaminan.
Ketentuan dalam pasal-pasal buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketentuan hak jaminan dimulai
dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, Pasal 1131
sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistimewakan, gadai, dan
hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang
termuat dalam buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai
berikut:
a.
Bab XIX : Tentang
Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian
Kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistimewakan Pada Umumnya (Pasal 1131
sampai dengan Pasal 1138);
Bagian Kedua tentang Hak-Hak Istimewa mengenai
Benda-Benda Tertentu (1139 sampai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua
Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya (Pasal 1149);
b.
Bab XX : Tentang
Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 telah dihapuskan).
c.
Bab XXI : Tentang
Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasaal 1232); Bagian Kesatu tentang
Ketentuan-Ketentuan Umum (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1178); Bagian Kedua
tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179
sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal
1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek Terhadap
Orang Ketiga yang menguasai benda yang Dibebani (Pasal1198 sampai dengan Pasal 1208);
Bagian Kelima tentang hapusnya Hipotek (1209 sampai dengan Pasal 1220); Bagian
Keenam tentang Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek, Tanggung
Jawab Pegawai-Pegawai yang Ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya
Register-Register oleh Masyarakat (Pasal 1221 sampai dengan Pasal 1232).
Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek
sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Sementara itu pembebanan hipotek atas benda-benda tidak bergerak
lainnya selain hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
hipotek kapal laut misalnya, tetap menggunakan lembaga dan ketentuan-ketentuan
hipotek sebagaimana diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan, dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penanggungan
utang (borghtocht) dan perikatan tanggung-menanggung. Jaminan hak
perseorangan ini diatur ’’yaitu pada Titel Ketujuh Belas dengan judul
“Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850.
Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pengertian dan sifat penanggungan utang,
akibat-akibat penanggungan utang antara debitur (yang berutang) dan penjamin
(penanggung) utang serta antara para penjamin hutang dan hapusnya penanggungan
utang. Secara rinci kandungan materi yang terdapat dalam Pasal 1820 sampai
dengan Pasal 1850 Titel Ketujuh Belas Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebagai berikut:
a.
Bab Ketujuh Belas
tentang penanggungan utang
b.
Bagian Kesatu
tentang Sifat Penanggungan (Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1830);
c.
Bagian Kedua
tentang Penanggungan Antara Debitur dan Penanggungan Utang (Pasal 1831 sampai
dengan Pasal 1838);
d.
Bagian Ketiga
tentang Akibat-Akibat Penanggungan Antara Debitur dan Penanggung Utang dan
Antara Penanggung Utang Sendiri (Pasal 1839 sampai dengan Pasal 1844);
e.
Bagian Keempat
tentang Hapusnya Penanggungan Utang (Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850).
Selain itu didalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata juga diatur mengenai jaminan hak perseorangan lainnya, yaitu
a.
Perikatan
Tanggung-menanggung (Perikatan Tanggung Renteng) sebagaimana diatur dalam Titel
Kesatu Bagian Kedelapan dari Pasal 1278 sampai dengan Pasal 1295 di bawah judul
“tentang Perikatan-Perikatan Tanggung Renteng atau Perikatan-Perikatan
Tanggung-menanggung”;
b.
Pejanjian Garansi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1316 KitabUndang-Undang Hukum Perdata.
Dengan demikian ketentuan-ketentuan hukum jaminan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak hanya bersumber kepada Buku II,
melainkan juga bersumber kepada Buku III, yaitu mengatur hak jaminan kebendaan
dan hak jaminan perseorangan.
Pada umumnya jenis-jenis lembaga jaminan yang dikenal
dalam sistem hukum Indonesia dikelompokkan menjadi :
a.
Menurut cara
terjadinya, yaitu jaminan yang lahir karena undang-undang dan perjanjian;
b.
Menurut sifatnya,
yaitu jaminan yang bersifat kebendaan dan bersifat perorangan;
c.
Menurut
kewenangan menguasainya, yaitu jaminan yang menguasai bendanya dan tanpa
menguasai bendanya,
d.
Menurut bentuk
golongannya, yaitu jaminan yang tergolong jaminan umum dan jaminan khusus
Dalam skema dibawah ini dapat diperlihatkan kedudukan
Perjanjian Garansi tersebut dalam sistem hukum Perdata:
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kedudukan
perjanjian garansi adalah dalam Buku Ke III (tiga) yaitu tentang perikatan dan
landasan hukum dasarnya adalah pasal ketentuan-ketentuan umum perikatan seperti
Pasal 1233 dan 1234.
Pasal 1233 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.” Dalam hal ini, perjanjian
garansi lahir karena adanya persetujuan.
Pasal 1234 berbunyi : “Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.”
Dalam hal ini, perjanjian garansi adalah perikatan yang ada untuk berbuat
sesuatu, yaitu menjamin atau berbuat “menjamin”.
Seperti yang telah diuraikan dalam pengertian tentang
Jaminan produk atau Garansi, pada dasarnya perjanjian garansi yang dimaksud
dalam hal jaminan produk ini adalah suatu perjanjian penjaminan dimana pihak
ketiga (dalam hal ini podusen atau importir) menjamin bahwa produk yang dijual
oleh pihak pertama (yaitu penjual atau distributor) kepada pihak kedua (pembeli
atau konsumen) adalah produk yang terbebas dari kesalahan pekerja dan kegagalan
bahan.
Dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dikatakan bahwa adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjamin seorang
pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan
tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah
menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak
ketiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi
perikatannya.
Menurut seorang praktisi hukum Rachmadi Usman pasal
tersebut merupakan landasan hukum dasar perjanjian garansi dan ini juga dapat
dijadikan dasar hukum garansi jaminan produk dengan menggunakan penafsiran
analogi, karena bila langsung menjadi dasar hukum tanpa adanya penafsiran
analogi maka substansi yang terkandung dalam pasal tersebut sedikit berbeda
dengan garansi atau jaminan produk.
Kalau pada pasal tersebut substansi perjanjian lebih
cenderung mengarah pada perjanjian garansi yang dicontohkan pada bank garansi
misalnya. Dimana pihak bank merupakan suatu pihak yang menjamin atau disebut “penanggung”,
“guarantor”, atau “borg” yang bersedia bertindak sebagai
penanggung bagi nasabahnya yang menjadi debitur dalam mengadakan suatu
perjanjian (pokok) dengan pihak lain sebagai kreditur. Perjanjian (pokok)
tersebut biasanya adalah perjanjian kerjasama antara nasabah bank (A) dengan
pimpinan proyek (Y) untuk mengerjakan suatu proyek tertentu. Dan pengerjaan
proyek oleh si “A” inilah yang dijamin oleh si Bank, sehingga Pimpinan Proyek
“Y” dapat merasa aman bila bekerjasama dengan si “A” (tentunya proyek yang
dijaminkan dengan bank garansi adalah proyek yang mahal atau yang menghabiskan
dana besar). Sedangkan bila dikaitkan dengan perjanjian garansi dalam hal
jaminan produk maka akan ditemukan kesesuaian sebab pada dasarnya adalah
sama-sama suatu perjanjian jaminan, dimana kalau dalam hal ini, produsen atau
pelaku usaha lah yang berperan sebagai penjamin atau penanggung atau guarantor
atau borg yang bersedia bertindak sebagai penanggung akan kualitas produk yang
diperjualbelikan oleh penjual (distributor) kepada pembeli (konsumen). Jadi
bila dianalogikan maka peran produsen atau pelaku usaha dalam perjanjian
garansi jaminan produk sama dengan peran bank dalam perjanjian garansi bank
garansi sama-sama sebagai penjamin, peran produk yang dijual si penjual atau
distributor sama dengan peran kerja nasabah bank ( atau si “A”) yaitu sama-sama
yang menjadi objek jaminan dengan perbedaan kalau si penjual atau distributor
yang dijamin adalah kualitas produk yang dijualkannya sedangkan si nasabah bank
(si “A”) yang dijamin adalah kualitas kerjanya yaitu baahwa dia mampu
mengerjakan proyek tersebut, sedangakan peran pembeli (konsumen) sama dengan
peran si Pimpinan Proyek (si “Y”), dalam hal ini sama-sama mendapat penjaminan
sehingga merasa aman dan terlindungi dari berbagai bentuk kerugian, dimana si
pembeli atau konsumen produk akan merasa aman dan terlindungi dari cacat bahan
atau kerusakan dari kesalahan pekerja sedangkan Pimpinan proyek atau “Y” merasa
aman dan terlindungi dari kerugian kegagalan proyek. Sebab kedua pihak yang
mendapat penjaminan itu pun telah membayar mahal segala sesuatunya jadi memang
pantaslah mendapatkan suatu jaminan atau garansi. Uraian diatas inilah yang
dimaksudkan penafsiran analogi tadi.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian
garansi serupa dapat kita lihat juga pengaturannya pada Pasal 1820 sampai
dengan Pasal 1850 dengan juga meperhatikan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata atau Pasal 1832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sedangkan untuk menjamin produk dari cacat tersembunyi
yang mengakibatkan kerugian dipihak konsumen maka Pasal 1504 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata mewajibkan penjual untuk menjamin cacat tersembunyi yang terdapat
pada barang yang dijualnya tersebut.
B. Penggolongan Jaminan
Hutang
Penggolongan
jaminan hutang dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu diantaranya adalah
sebagai berikut:
a.
Penggolongan
Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:
o
Jaminan
yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan
bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPer, yaitu" segala harta/hak
kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan
untuk semua perikatan perorangan".
o
Jaminan
yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan
dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara
khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang atau kewajiban debitur, baik
secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu
saja.
o
Jaminan
yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
jaminan yang bersifat kebendaan
adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan
jaminan berdasarkan atau bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotek
(Pasal 1162 KUHPer), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.sedangkan
jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtoch (personal guarantee)
yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan
perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan
hukum.
b.
Penggolongan
jaminan berdasarkan Objek atau Bendanya:
o
Jaminan
dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena
sifatnya yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai
benda bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam
bentuk benda bergerak dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya
dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang
pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.
o
Jaminan
dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya
tidak bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur
dalam KUHPer. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa
hak tanggungan (hipotek).
c.
Penggolongan
jaminan berdasarkan Terjadinya:
o
Jaminan
yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang ditunjuk
keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak,
sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPer, seperti jaminan umum, hak
privelege dan hak retensi.
o
Jaminan
yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena
adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotek,
dan hak tanggungan.
C. Borgtocht (Penanggungan
Hutang)
Seperti yang tercantum
dalam KUHPer pasal 1820, bahwa Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana
pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Mengenai
penanggungan hutang ini diatur dalam KUHPer pasal 1820 sampai dengan 1850. Sedangkan
pembagiannya akan dibahas masing-masing bagian.
1. Ketentuan Dalam Penanggungan Hutang
a.
Penanggungan hutang adalah suatu
perjanjian penjaminan hutang yang sangat terkait kepada perorangan yang
mengikatkan dirinya sebagai jaminan atas hutang dari pihak yang mengikatkan
dirinya disebut penanggung atau penjamin.(KUHPer pasal 1820)
b.
Penanggungan hutang sangat berkaitan
dengan perjanjian pokok yang sah. Ketentuan ini menunjukkan tidak ada suatu
penanggungan hutang bila sebelumnya tidak ada suatu perjanjian pokok.
Perjanjian pokok misalnya berupa perjanjian pinjaman yang disepakati oleh pihak
peminjam dengan pihak pemberi pinjaman. Perjanjian penanggungan hutang bukan
suatu perjanjian pokok. Sehubungan dengan itu dalam hukum perikatan sebagaimana
yang telah dikemukakan para ahli dikatakan bahwa adanya perikatan pokok dan
perikatan turutan. Perjanjian penanggungan hutang adalah perjanjian turutan.
Contoh lainnya adalah perjanjian kredit sebagai perikatan pokok dan sedangkan
perikatan jaminan adalah perikatan turutan. (KUHPer pasal 1821)
c.
Perikatan penanggungan hutang para
penanggung berpindah kepada ahli warisnya. (KUHPer pasal 1826)
d.
Peminjam yang diwajibkan memberikan
seorang penanggung harus mengajukan seorang yang mempunyai kecakapan hukum
untuk mengikatkan dirinya, cukup mampu untuk memenuhi perikatannya dan berdiam
di Indonesia. (KUHPer pasal 1827)
e.
Penanggung tidak diwajibkan membayar
kepada pemberi pinjaman selainnya jika pihak peminjam lalai, sedangkan harta
pihak peminjam adalah yang terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi
semua hutangnya. (KUHPer pasal 1831). Dalam hal ini disebutkan hak istimewa
untuk penanggung. Penanggung dalam membuat perjanjian penanggungan hutang
seharusnya memperhatikan ketentuan hak istimewa penanggung tersebut sehingga
sepenuhnya menyadari kedudukan dan kewajibannya jika pihak peminjam ingkar
janji kepada pihak pemberi pinjaman.
f.
Penanggung tidak dapat menuntut supaya
harta pihak peminjam lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi hutangnya.
-
Apabila ia telah melepaskan hak
istimewanya untuk menuntut supaya harat pihak peminjam lebih dahulu disita dan
dijual
-
Apabila telah mengikatkan dirinya
bersama-sama dengan pihak peminjam utama secara tanggung-menanggung, yang
akibat-akibat perikatannya diatur menurut azas-azas yang ditetapkan untuk
hutang tanggung menanggung.
-
Jika pihak peminjam dapat mengajukan
suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi.
-
Jika pihak peminjam berada di dalam
keadaan pailit
-
Dalam halnya penanggungan yang
diperintahkan oleh hakim. (KUHPer pasal
1320)
g.
Penanggung yang telah membayar hutang
pihak peminjam, menggantikan demi hukum segala hak pihak pemberi pinjaman
terhadap pihak peminjam.(KUHPer pasal
1840)
h.
Perikatan yang
diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana
yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya. (KUHPer pasal 1845).
2. Akibat-akibat
Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Hal ini seperti yang
dituliskan dalam KUHPer pasal 1831 sampai dengan pasal 1838 seperti berikut:
a.
Penanggung tidak wajib
membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu
pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk
melunasi utangnya.
b.
Penanggung tidak dapat
menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk
melunasi utangnya:
-
bila ia telah melepaskan hak
istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan
dijual;
-
bila ia telah mengikatkan
dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung-menanggung, dalam
hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan
untuk utang-utang tanggung-menanggung;
-
jika debitur dapat
mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
-
jika debitur berada keadaan
pailit;
-
dalam hal penanggungan yang
diperintahkan oleh Hakim.
c.
Kreditur tidak wajib menyita
dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitur, kecuali bila pada waktu
pertama kalinya dituntut dimuka hakim, penanggung mengajukan permohonan itu.
d.
Penanggung yang menuntut
agar barang kepunyaan debitur disita dan dijual lebih dahulu wajib menunjukkan
barang kepunyaan debitur itu kepada kreditur dan membayar lebih dahulu
biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut.
Penanggung
tidak boleh menunjuk barang yang sedang dalam sengketa di hadapan Pengadilan,
atau barang yang sudah dijadikan tanggungan hipotek untuk utang yang
bersangkutan dan sudah tidak lagi berada di tangan debitur itu, ataupun barang
yang berada di luar wilayah Indonesia.
e.
Bila penanggung sesuai
dengan pasal yang lalu telah menunjuk barang-barang debitur dan telah membayar
biaya yang diperlukan untuk penyitaan dan penjualan, maka kreditur bertanggung
jawab terhadap penanggung atas ketidakmampuan debitur yang terjadi kemudian
dengan tiadanya tuntutan-tuntutan, sampai sejumlah harga barang-barang yang
ditunjuk itu.
f.
Jika beberapa orang telah
mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang debitur yang sama dan untuk
utang yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh utang itu.
g.
Akan tetapi masing-masing
dari mereka, bila tidak melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemisahan
utangnya, pada waktu pertama kali digugat di muka Hakim, dapat menuntut supaya
kreditur lebih dulu membagi piutangnya, dan menguranginya sebatas bagian
masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah.
h.
Jika pada waktu salah satu
penanggung menuntut pemisahan hutangnya, seorang atau beberapa teman penanggung
tak mampu, maka penaggung tersebut wajib membayar hutang hutang mereka yang tak
mampu itu menurut imbangan bagiannya, tetapi ia tidak wajib bertanggung jawab
jika ketidakmampuan mereka terjadi setelah pemisahan hutangnya.
i.
Jika kreditur sendiri secara
sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh menarik kembali
pemisahan hutang itu, biarpun beberapa diantara para penanggung berada dalam
keadaan tidak mampu sebelum ia membagi-bagi hutang itu.
3.
Akibat-akibat
Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan antara Para Penanggung Sendiri
Ini seperti tertera dalam KUHPer pasal
1839 sampai dengan pasal 1844 berikut ini:
a.
Penanggung yang telah
membayar dapat menuntut apa yang telah dibayarnya itu dari debitur utama, tanpa
memperhatikan apakah penanggungan itu diadakan dengan atau tanpa setahu debitur
utama itu. Penuntutan kembali ini dapat dilakukan baik mengenai uang pokok
maupun mengenai bunga serta biaya-biaya.
Mengenai
biaya-biaya tersebut, penanggung hanya dapat menuntutnya kembali sekedar dalam
waktu yang dianggap patut ia telah menyampaikan pemberitahuan kepada debitur
utama tentang tuntutan-tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penanggung juga
berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu
memang ada.
b.
Penanggung yang telah membayar lunas utangnya, demi hukum,
menggantikan kreditur dengan segala haknya terhadap debitur semula.
c.
Bila beberapa orang
bersama-sama memikul satu utang utama dan masing-masing terikat untuk seluruh
utang utama tersebut, maka orang yang mengajukan diri sebagai penanggung untuk
mereka semuanya, dapat menuntut kembali semua yang telah dibayarnya dari
masing-masing debitur tersebut.
d.
Penanggung yang telah
membayar utangnya sekali, tidak dapat menuntutnya kembali dari debitur utama
yang telah membayar untuk kedua kalinya bila ia tidak memberitahukan pembayaran
yang telah dilakukan itu kepadanya, hal ini tidak mengurangi haknya untuk
menuntutnya kembali dari kreditur.
Jika
penanggung telah membayar tanpa digugat untuk itu sedangkan ia tidak
memberitahukannya kepada debitur utama, maka ia tidak dapat menuntutnya kembali
dari debitur utama ini bila pada waktu dilakukannya pembayaran itu debitur
mempunyai alasan-alasan untuk menuntut pembatalan utangnya; hal ini tidak
mengurangi tuntutan penanggung terhadap kreditur.
e.
Penanggung dapat menuntut
debitur untuk diberi ganti rugi atau untuk dibebaskan dari perikatannya, bahkan
sebelum ia membayar utangnya:
-
bila ia digugat di muka
Hakim untuk membayar;
-
dihapus dengan S. 1906 -
348;
-
bila debitur telah berjanji
untuk membebaskannya dari penanggungannya pada waktu tertentu;
-
bila utangnya sudah dapat
ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya;
-
setelah lewat waktu sepuluh
tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk
pengakhirannya kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, hingga tidak
dapat diakhiri sebelum lewat suatu waktu tertentu, seperti suatu perwalian
f.
Jika berbagai orang telah
mengikatkan diri sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang
sama, maka penanggung yang telah melunasi utangnya dalam hal yang ditentukan
dalam nomor 10 pasal yang lalu, begitu pula bila debitur telah dinyatakan
pailit, berhak menuntutnya kembali dari penanggung-penanggung lainnya,
masing-masing untuk bagiannya.
Ketentuan
alinea kedua dari Pasal 1293 berlaku dalam hal ini.
4.
Hapusnya Penanggungan
Utang
Mengenai
hapusnya penanggungan hutang tertera dalam KUHPer pasal 1845 sampai dengan 1850
sebagai berikut:
a.
Perikatan yang timbul karena penanggungan. hapus karena sebab-sebab
yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.
b.
Percampuran utang yang
terjadi di antara debitur utama dan penanggung utang, bila yang satu menjadi
ahli waris dari yang lain, sekali-kali tidak menggugurkan tuntutan hukum
kreditur terhadap orang yang telah mengajukan diri sebagai penanggung dari penanggung
itu.
c.
Terhadap kreditur itu,
penanggung utang dapat menggunakan segala tangkisan yang dapat dipakai oleh
debitur utama dan mengenai utang yang ditanggungnya sendiri. Akan tetapi, ia
tidak boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata mengenai pribadi debitur itu.
d.
Penanggung dibebaskan dari
kewajibannya bila atas kesalahan kreditur ia tidak dapat lagi memperoleh hak hipotek
dan hak istimewa kreditur itu sebagai penggantinya.
e.
Bila kreditur secara
sukarela menerima suatu barang tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran
utang pokok, maka penanggung dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang
itu kemudian harus diserahkan oleh kreditur kepada orang lain berdasarkan
putusan Hakim untuk kepentingan pembayaran utang tersebut.
f.
Suatu penundaan pembayaran
sederhana yang diizinkan kreditur kepada debitur tidak membebaskan penanggung
dari tanggungannya; tetapi dalam hal demikian, penanggung dapat memaksa debitur
untuk membayar utangnya atau membebaskan penanggung dari tanggungannya itu.
D. Gadai
1. Pengertian Pegadaian
Pengertian Perusahaan
Umum Pegadaian di Indonesia adalah sebagai berikut :
Perusahaan umum Pegadaian adalah
satu-satunya badan usaha di Indonesia yang mempunyai izin secara resmi untuk
melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk
penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai seperti di maksud dalam
kitab undang-undang hukum perdata pasal 1150 di atas
2. Peranan Pegadaian
Tugas pokok Perum
Pegadaian adalah memberi pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar
masyarakat tidak dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan non formal yang
cenderung memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat. Masyarakat yang
sedang memerlukan pinjaman atau pun mengalami kesulitan keuangan cenderung
dimanfaatkan oleh lembaga keuangan seperti lintah darat dan pengijon untuk
mendapatkan sewa dana atau bunga dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.
3. Kegiatan Usaha Pegadaian
Perum Pegadaian
mempunyai kegiatan usaha diantaranya sebagai berikut :
a.
Penghimpunan Dana
o
Dana yang diperoleh oleh Perum Pegadaian
untuk melakukan kegiatan usahanya berasal dari Pinjaman jangka pendek dari
Perbankan
-
Pinjaman jangka pendek dari pihak
lainnya
-
Penerbitan obligasi
-
Modal sendiri
b.
Penggunaan Dana
Dana yang telah
berhasil dihimpun kemudian digunakan untuk mendanai kegiatan usaha Perum
Pegadaian. Dana tersebut antara lain digunakan untuk hal-hal berikut ini :
o
Uang kas dan dana likuid lain
o
Pembelian dan pengadaan berbagai macam
bentuk aktiva tetap dan inventaris.
o
Pendanaan kegiatan operasional
o
Penyaluran dana
Penggunaan dana yang
utama adalah untuk disalurkan dalam bentuk pembiayaan atas dasar hukum gadai.
Lebih dari 50 % dana yang telah dihimpun oleh Perum Pegadaian tertanam dalam
bentuk aktiva ini, karena memang ini merupakan kegiatan utamanya. Penyaluran
dana ini diharapkan akan dapat menghasilkan penerimaan dari bunga yang
dibayarkan oleh nasabah. Penerimaan inilah yang merupakan penerimaan utama bagi
Perum Pegadaian dalam menghasilkan keuntungan.
o
Investasi lain
Kelebihan dana atau
idle fund, yang belum diperlukan untuk mendanai kegiatan operasional maupun
penyaluran dana belum dapat disalurkan kepada masyarakat, dapat ditanam dalam
berbagai macam bentuk investasi jangka pendek dan menengah. Investasi ini dapat
menghasilkan penerimaan bagi Perum Pegadaian, namum penerimaan ini bukan
merupakan penerimaan utama yang diharapkan oleh Perum Pegadaian.
c.
Produk dan Jasa Perum Pegadaian
Produk dan jasa yang
ditawarkan oleh Perum Pegadaian kepada masyarakat meliputi sebagai berikut :
o
Pemberian pinjaman atas dasar hukum
gadai
o
Penaksiran nilai barang
Selain memberikan
pinjaman atas dasar hukum gadai, Perum Pegadaian juga memberikan jasa
penaksiran atas nilai suatu barang. Masyarakat yang memerlukan jasa ini
biasanya ingin mengetahui nilai jual wajar atas barang berharganya yang akan
dijual. Atas jasa penaksiran yang diberikan, Perum Pegadaian memperoleh
penerimaan dari pemilik barang berupa ongkos penaksiran.
o
Penitipan barang
Jasa lainnya yang
ditawarkan oleh Perum Pegadaian adalah penitipan barang. Masyarakat menitipkan
barang di Pegadaian pada dasarnya karena alasan keamanan penyimpanan, terutama
bagi masyarakat yang akan meninggalkan rumahnya untuk jangka waktu yang lama.
Atas jasa penitipan yang diberikan, Perum Pegadaian memperoleh penerimaan dari
pemilik barang berupa ongkos penitipan.
o
Jasa lainnya
4. Pengertian Gadai
Menurut kitab
Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur,
atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang
kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan
mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai
pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya
penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan
yang harus didahulukan.. Barang tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang
yang mempunyai utang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang berpiutang
untuk menggunakan barang yang telah diserahkan untuk melunasi utang apabila
pihak yang berutang tidak dapat memenuhi kewajibannya pada saat jatuh tempo.
5. Unsur Gadai
Dari definisi gadai tersebut,
unsur-unsur gadai (secara umum) berdasarkan pasal tersebut diatas adalah
sebagai berikut:
a.
Gadai adalah suatuhak yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak. Pada dasarnya
gadai itu merupakan suatu hak kebendaan bagi pihak yang
berpiutang atau kreditur. Hak kebendaan
hanya meliputi barang-barang yang bergerak dan tidak meliputi
barang-barang yang tidak bergerak.
b.
Barang bergerak tersebut diserahkan
kepadanya oleh seseorang berutang atau seorang lain
atas namanya. Perolehan dan penyerahan barang bergerak tersebut adalah dari pihak yang berutang
atau debitur ataupun dari pihak ketiga. Penyerahan dapat dilakukan secara nyata
ataupun melalui sebuah akta.
c.
Memberikan kekuasaan kepada si
berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan
daripada orang-orang berpiutang lainnya. Melalui hak kebendaan berupa
gadai ini, pihak yang berpiutang atau kreditur menjadi kreditur konkuren terhadap kreditur-kreditur
lainnya dalamhal pelunasan hutang-hutang pihak yang berutang atau debitur.
d.
Dengan kekecualian biaya
untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana
harus didahulukan. Walaupun pihak yang berpiutang atau kreditur ini
memiliki hak konkuren dibandingkan dengan kreditur yang lainnya,
namun terdapat hak lain yang lebih tinggi yaitu hak yang dimiliki oleh balai lelang atas biaya
biaya pelelangan barang bergerak dan biaya pemeliharaan barang bergerak yang
digadaikan. Pelunasan biaya-biaya tersebut harus didahulukan dari
pelunasan atau hak-hak yang lain.
Dari definisi dan unsur-unsur
di atas, gadai merupakan hak kebendaan dan timbul dari suatu perjanjian gadai.
Perjanjian gadai inipun tidaklah berdiri sendiri melainkan
merupakan perjanjian ikutan atau accesoir dari perjanjian pokoknya.
Perjanjian pokok ini biasanya adalah berupa perjanjian hutang piutang antara
kreditur dan debitur.
Dalam suatu perjanjian hutang
piutang, debitur sebagai pihak yang berutang meminjam uang atau barang dari
kreditur sebagai pihak yang berpiutang. Agar kreditur memperoleh rasa aman dan
terjamin terhadap uang atau barang yang dipinjamkan, kreditur mensyaratkan
sebuah agunan atau jaminan atas uang atau barang yang dipinjamkan. Agunan ini
diantaranya bisa berupa gadai atas barang-barang bergerak yang dimiliki
oleh debitur ataupun milik pihak ketiga. Debitur sebagai pemberi gadai
menyerahkan barang-barang yang digadaikan tersebutkepada kreditur atau penerima
gadai. Disamping menyerahkan kepada kreditur, barang yangdigadaikan ini dapat
diserahkan kepada pihak ketiga asalkan terdapat persetujuan kedua
belah pihak.
6. Jenis-Jenis Barang Yang Dapat
Digadaikan
Pada dasarnya hampir
semua barang bergerak dapat digadaikan di Pegadaian dengan pengecualian untuk
barang-barang tertentu. Barang-barang yang dapat digadaikan meliputi :
a.
Barang Perhiasan: Perhiasaan yang
terbuat dari emas, perak, platina, intan, mutiara dan batu mulia.
b.
Kendaraan: Mobil, sepeda motor, sepeda,
becak, bajaj,dll
c. Barang
elektronik: Kamera, lemari es, Freezer, Radio, Tape Recorder, Video Player,
Televisi, Komputer, Laptop, Handphone,dll
d. Barang
Rumah Tangga: Perlengkapan dapur, peralatan makan,dll
e. Mesin-Mesin:
Mesin jahit, mesin kapal motor
f. Tekstil:
Berupa pakaian, permadani atau kain batik/sarung
g. Barang
lain yang dianggap bernilai oleh Perum Pegadaian
Namun mengingat
keterbatasan tempat penyimpanan, keterbatasan sumber daya manusia di Perum
Pegadaian, perlunya meminimalkan risiko yang ditanggung Perum Pegadaian, serta
memperhatikan peraturan yang berlaku.
Maka Barang – barang yang tidak dapat
digadaikan antara lain :
a.
Binatang Ternak, karena memerlukan
tempat penyimpanan khusus dan memerlukan cara pemeliharaan khusus.
b. Hasil
Bumi, karena mudah busuk atau rusak
c. Barang
dagangan dalam jumlah besar, karena memerlukan tempat penyimpanan sangat besar
yang tidak dimilki oleh pegadaian.
d. Barang
yang cepat rusak, busuk atau susut
e. Barang
yang amat kotor
f. Kendaraan
yang sangat besar
g. Barang-barang
seni yang sulit ditaksir
h. Barang
yang sangat mudah terbakar
i.
Senjata api, amunisi dan mesiu
j.
Barang yang disewabelikan
k. Barang
milik pemerintah
l.
Barang ilegal
7. Penaksiran
Pinjaman atas dasar
hukum gadai mensyaratkan penyerahan barang sebagai jaminan pada loket yang
telah ditentukan penentuan harga pada kantor pegadaian setempat. Mengingat
besarnya jumlah pinjaman sangat tergantung pada nilai barang yang akan
digadaikan, maka barang yang diterima dari calon peminjam terlebih dahulu harus
ditaksir nilainya oleh petugas penaksir.
Petugas penaksir adalah
orang-orang yang sudah mendapatkan pelatihan khusus dan berpengalaman dalam
melakukan barang-barang yang akan digadaikan. Pedoman dasar penaksiran telah
ditetapkan oleh Perum Pegadaian agar penaksiran atas suatu barang dapat sesuai
dengan nilai yang sebenarnya. Pedoman penaksiran yang dikelompokkan atas dasar
jenis barangnya adalah sebagai berikut :
a.
Barang Kantong
o
Emas
-
Petugas penaksir melihat harga pasar
pusat (HPP) dan standar taksiran logam yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat
-
Petugas Penaksir melakukan pengujian
karatase dan berat
-
Petugas menaksir melakukan nilai
taksiran
o
Permata
-
Petugas penaksir melihat standar
taksiran permata yang telah ditetapkan oleh kantor pusat. Standar ini
disesuaikan dengan perkembangan pasar permata yang ada.
-
Petugas penaksir melakukan pengujian
kualitas dan berat permata
-
Petugas penaksir melakukan nilai
taksiran
b. Barang
Gudang (mobil, mesin, barang elektonik, tekstil dll)
o
Petugas penaksir melihat harga pasar
setempat (HPS) dari barang.
o
Harga pedoman untuk keperluan penaksiran
ini selalu disesuaikan dengan perkembangan harga yang terjadi.
o
Petugas penaksir menentukan nilai
taksiran
Nilai taksiran terhadap
suatu objek barang yang akan digadaikan tidak ditentukan sebesar harga pasar,
melainkan setelah dikalikan dengan persentase tertentu.
8. Pemberian Pinjaman
Penggolongan uang
pinjaman yang diberikan kepada nasabah berdasarkan SK. Direksi Nomor:
020/OP.1.0021/2001 tentang perubahan tarif sewa modal adalah sebagai berikut:
a. Golongan
A
Jumlah
pinjaman antara Rp. 5.000,00 sampai dengan Rp. 40.000,00 adalah masuk dalam
kategori Surat Bukti Kredit golongan A. sedangkan jangka waktunya adalah 120
hari (empat bulan).
b. Golongan
B
Jumlah
pinjaman antara Rp.40.500,00 sampai dengan Rp. 150.000,00 adalah masuk dalam
kategori Syarat Bukti Kredit Golongan B. sedangkan jangka waktunya adalah 120
hari (empat bulan).
c. Golongan
C
Jumlah
pinjaman antara Rp.151.000,00 sampai dengan Rp. 500.000,00 adalah masuk dalam
kategori Syarat Bukti Kredit Golongan C. sedangkan jangka waktunya adalah 120
hari (empat bulan).
d. Golongan
D
Jumlah
pinjaman antara Rp.510.000,00 sampai dengan tidak terbatas adalah masuk dalam
kategori Syarat Bukti Kredit Golongan D. sedangkan jangka waktunya adalah 120
hari (empat bulan).
Nasabah harus membayar
pinjaman disertai dengan sewa modal yang besarnya sangat bervariasi. Hal ini
disebabkan karena tinggi rendahnya suku bunga tersebut disesuaikan dengan
golongan barang gadai dan besarnya pinjaman yang diberikan. Adapun mengenai
rincian besarnya bunga yang harus dibayarkan oleh nasabah adalah sebagi berikut
:
a) Untuk
kredit golongan A, besarnya bunga 1,25 %, dengan maksimum sebesar 10% dan sewa
modal yang diperhitungkan minimum lakunya lelang adalah 10%. Sedangkan nasabah
harus membayarkan sewa modal tersebut setiap 15 hari sekali, dengan batas waktu
kredit selama 120 hari atau selama 4 bulan. Sedangkan keseluruhan bunga yang
harus dibayarkan oleh nasabah sampai jatuh tempo adalah 10% dan nasabah masih
harus membayar uang asuransi antara Rp. 200,00 sampai dengan Rp. 400,00.
b) Untuk
kredit golongan B, besarnya bunga 1,5 %, dengan maksimum sebesar 12% dan sewa
modal yang diperhitungkan minimum lakunya lelang adalah 12%. Sedangkan nasabah
harus membayarkan sewa modal tersebut setiap 15 hari sekali, dengan batas waktu
kredit selama 120 hari atau selama 4 bulan. Sedangkan keseluruhan bunga yang
harus dibayarkan oleh nasabah sampai jatuh tempo adalah 12% dan nasabah masih
harus membayar uang asuransi antara Rp. 1.000,00 sampai dengan Rp. 2.000,00.
c) Untuk
kredit golongan C, besarnya bunga 1,75 %, dengan maksimum sebesar 14% dan sewa
modal yang diperhitungkan minimum lakunya lelang adalah 14%. Sedangkan nasabah
harus membayarkan sewa modal tersebut setiap 15 hari sekali, dengan batas waktu
kredit selama 120 hari atau selama 4 bulan. Sedangkan keseluruhan bunga yang
harus dibayarkan oleh nasabah sampai jatuh tempo adalah 14% dan nasabah masih
harus membayar uang asuransi antara Rp. 5.000,00 sampai dengan Rp. 12.000,00.
d) Untuk
kredit golongan D, besarnya bunga 1,75 %, dengan maksimum sebesar 14% dan sewa
modal yang diperhitungkan minimum lakunya lelang adalah 14%. Sedangkan nasabah
harus membayarkan sewa modal tersebut setiap 15 hari sekali, dengan batas waktu
kredit selama 120 hari atau selama 4 bulan. Sedangkan keseluruhan bunga yang
harus dibayarkan oleh nasabah sampai jatuh tempo adalah 14% dan nasabah masih
harus membayar uang asuransi antara Rp. 200,00 sampai dengan Rp. 400,00 dan
nasabah harus membayar uang asuransi sebesar 0,5% x Uang pinjaman minimum
sampai dengan Rp. 25.000,00.
9.
Prosedur
Pemberian Kredit Gadai
Sedangkan prosedur
mendapatkan dana pinjaman dari Perum Pegadaian adalah sebagai berikut :
a) Calon
nasabah datang langsung ke loket penaksiran dan menyerahkan barang yang akan
dijadikan jaminan dengan menunjukkan surat bukti diri seperti KTP atau surat
kuasa apabila pemilik barang tidak bisa datang sendiri.
b) Barang
jaminan tersebut diteliti kualitasnya untuk menaksir dan menetapkan harganya.
Berdasarkan taksiran yang dibuat penaksir, ditetapkan besarnya uang pinjaman
yang dapat diterima oleh nasabah. Besarnya nilai uang pinjaman yang diberikan
lebih kecil daripada nilai pasar dari barang yang digadaikan. Perum Pegadaian
secara sengaja mengambil kebijakan ini guna mencegah munculnya kerugian.
c) Selanjutnya,
pembayaran uang pinjaman dilakukan oleh kasir tanpa ada potongan biaya apapun
kecuali potongan premi asuransi.
Sedangkan prosedur
pemberian pinjaman oleh Perum Pegadaian dapat dilihat pada gambar berikut:
Nasabah
|
Petugas Penaksir
|
Kasir
|
1.Permohonan
dan Penyerahan Barang Jaminan
|
3.
Pencairan Uang Pinjaman
|
2. Informasi
Penetapan Jumlah Pinjaman
|
Sumber
: Perum Pegadaian
|
10. Pelunasan
Sesuai dengan
syarat-syarat yang telah ditentukan pada waktu pemberian pinjaman, nasabah
mempunyai kewajiban melakukan pelunasan pinjaman yang telah diterima. Pada
dasarnya, nasabah dapat melunasi kewajibannya setiap saat tanpa harus menunggu
jatuh tempo. Pelunasan pinjaman beserta sewa modalnya (bunga) dibayarkan
langsung ke kasir disertai surat gadai setelah adanya pelunasan atau penebusan
yang disertai dengan pemenuhan kewajiban nasabah yang lain, nasabah dapat
mengambil kembali barang yang digadaikan.
Nasabah
|
1.
Pelunasan
|
Kasir
|
2. Informasi
Pelunaan Pinjaman
|
Petugas
penyimpanan Barang Jaminan
|
3. Pengambilan
barang yang digadaikan
|
Sumber
: Perum Pegadaian
|
11. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak (pemberi dan
penerima gadai )masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi.
Sedangkan hak dan kewajibannya adalah sebagai berikut
a.
Hak dan Kewajiban Pemegang Gadai
Penerima Gadai adalah Pihak yang
menerima barang dalam bentuk gadai sebagai jaminan pembayaran utang.
o
Hak Pemegang Gadai
-
Pemegang gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan, yaitu apabila pemberi gadai pada saat jatuh tempo
atau pada waktu yang ditentukan tidak
dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berutang. Sedang hasil penjualan
barang jaminan tersebut diambil sebagian untuk melunasi utang pemberi gadai dan
sisanya dikembalikan kepadanya.
-
Pemegang gadai berhak mendapatkan
penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan barang
jaminan.
-
Selama utangnya belum dilunasi, maka
pemegang gadai berhak untuk menahan barang jaminan yang diserahkan oleh pemberi
gadai (Hak Retentie)
o
Kewajiban Pemegang Gadai
-
Pemegang gadai berkewajiban bertanggung
jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan jika itu
semua atas kelalaiannya.
-
Pemegang gadai tidak dibolehkan
menggunakan barang-barang yang digadaikan untuk kepentingan sendiri.
-
Pemegang gadai berkewajiban untuk
memberi tahu kepada pemberi gadai sebelum diadakan pelelangan barang gadai.
o
Hak dan Kewajiban Pemberi Gadai
Pemberi Gadai adalah Pihak yang
menyerahkan barang dalam bentuk gadai sebagai jaminan utang.
-
Hak Pemberi Gadai
i.
Pemberi gadai mempunyai hak untuk mendapatkan
kembali barang miliknya setelah pemberi gadai melunasi utangnya.
ii.
Pemberi gadai berhak menuntut ganti
kerugian dari kerusakan dan hilangnya barang gadai bila hal itu disebabkan oleh
kelalaian pemegang gadai.
iii.
Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan
sisa dari penjaualn barangnya setelah dikurangi biaya pelunasan utang, sewa
modal dan biaya lainnya.
iv.
Pemberi gadai berhak meminta kembali
barangnya bila pemegang gadai telah jelas menyalahgunakan barangnya.
-
Kewajiban Pemberi Gadai
i.
Pemberi gadai berkewajiban untuk
melunasi utang yang telah diterimanya dari pemegang gadai dalam tenggang waktu
yang telah ditentukan termasuk sewa modal dan biaya lainnya yang telah
ditentukan pemegang gadai.
ii.
Pemberi gadai berkewajiban merelakan
penjualan atas barang gadai miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah
ditentukan pemberi gadai tidak dapat melunasi utangnya kepada pemegang gadai.
12. Berakhirnya Hak Gadai
Suatu perjanjian utang
piutang pada dasarnya tidak ada bersifat langsung, artinya perjanjian tersebut
sewaktu-waktu akan dapat berakhir atau batal. Demikian pula dengan perjanjian
gadai. Namun batalnya hak gadai akan sangat berbeda dengan hak-hak yang lain.
Hak gadai dikatakan batal atau berakhir apabila :
a.
Utang-piutang yang terjadi telah dibayar
dan terlunasi.
b. Barang
gadai keluar dari kekuasaan pemberi gadai, yaitu bukan lagi menjadi hak milik
pemberi gadai.
c. Para
pihak tidak melaksanakan yang menjadi hak dan kewajiban masaing-masing.
Barang gadai tetap
dibiarkan dalam kekuasaan pemberi gadai atau pun yang kembalinya atas kemauan
yang berpiutang.
13. Sewa
Modal
Mengingat pentingnya Sewa
Modal terhadap pendapatan pada Perum Pegadaian maka perlu dipahami betul arti
dari Sewa Modal agar diperoleh rumusan yang tepat dan benar.
-
Menurut Kasmir
menyatakan bahwa:
“Sewa modal adalah biaya atas pinjaman yang
diperoleh biasa dinyatakan dalam bentuk persen”
-
Menurut
Miller, RL Dan Vanhoose DD menyatakan bahwa:
“Sewa Modal adalah sejumlah dana di nilai dalam uang
yang diterima si pemberi pinjaman (kreditor)”.
Dari pengertian Sewa Modal
diatas dapat disimpulkan bahwa Sewa Modal adalah biaya atas pinjaman yang
diterima si pemberi pinjaman ( kreditor).Bunga gadai yang harus dibayar oleh
nasabah kepada Perum Pegadaian tidak boleh lebih dari hitungan hari kelimabelas
(15 hari sekali). Sebab jika bunga tersebut dibayarkan pada hari keenambelas,
besarnya bunga akan naik dua kali lipat setiap harinya (kelebihan satu hari
akan dihitung 15 hari).
E. Jaminan Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia manurut asal
katanya berasal dari “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata
ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur
(penerima fidusi) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan.
Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik
barang yang telah diserahkan, setelah dilunasi utangnya. Sebaliknya penerima
fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan
yang berada dalam kekuasaannya.
Pasal 1 Undang-undang
tentang Fidusia memberikan batasan dan pengertian sebagai berikut: “Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan
pemilik benda.”
“Jaminan fidusia adalah
hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunana bagi pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.”
Dari defenisi yang
diberikan di atas, jelas bahwa fidusia dibedakan dari jaminan fidusia, dimana
fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia
adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia. Ini berarti pranata jaminan
fidusia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 ini adalah pranata
jaminan fidusia sebagaimana dimaksud fiducia cum creditore contracta di atas.
2. Pembebanan Jaminan Fidusia
Pasal 4 UUJF menyatakan
jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Yang
dimaksud prestasi di sini adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang. Pembebanan benda dengan
Jaminan Fidusia diatur Pasal 5 yaitu:
a.
Pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan
Fidusia;
b. Terhadap
pembuatan Akta jaminan fidusia dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya Akta Jaminan Fidusia haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Haruslah
berupa akta notaris;
- Haruslah
dibuat dalam bahasa Indonesia;
- Harus
berisikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
-
Identitas pihak pemberi fidusia: Nama
lengkap, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat lahir tanggal lahir,
jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan;
-
Identitas pihak penerima fidusia, yakni
tentang dana seperti tersebut di atas;
-
Haruslah dicantumkan hari, tanggal, dan
jam pembuatan akta fidusia;
-
Data perjanjian pokok yang dijamin
dengan fidusia;
-
Uraian mengenai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia, yakni tentang identifikasi benda tersebut, dan surat bukti
kepemilikan. Jika benda selalu berubah-ubah seperti benda dalam persediaan
(inventory) haruslah disebutkan tentang jenis, merek, dan kualitas dari benda
tersebut.
-
Berapa nilai penjaminannya;
-
Berapa nilai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia;
3.
Pendaftaran
Jaminan Fidusia
Pendaftaran jaminan
fidusia diatur pada Pasal 11 yang bunyinya:
a.
Benda yang dibebani dengan jaminan
fidusia wajib didaftarkan;
b. Dalam
hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap
berlaku.
Berdasarkan Pasal 12
dan 13 UUJF, pendaftaran jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Jika kantor fidusia di tingkat II (kabupaten/kota) belum ada maka didaftarkan
Kantor Pendaftaran Fidusia di Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tingkat
Propinsi. Yang berhak mengajukan permohonan pendaftaran jaminan fidusia adalah
penerima fidusia, kuasa ataupun wakilnya, dengan melampirkan pernyataan
pendaftaran jaminan fidusia, yang memuat:
a.
Identitas pihak Pemberi Fidusia dan
Penerima Fidusia;
b. Tanggal
nomor Akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang membuat Akta
Jaminan Fidusia;
c. Data
perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
d. Uraian
mengenai benda yang menjadi objek jaminan Fidusia;
e. Nilai
penjaminan dan;
f. Nilai
benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Kantor Pendaftaran
Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang
sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. Tanggal pencatatan
Jaminan Fidusia pada Buku daftar Fidusia adalah dianggap sebagai tanggal
lahirnya jaminan Fidusia. Pada hari itu juga Kantor Pendaftaran Fidusia di
Kanwil Kehakiman di Tingkat Provinsi (jika Kantor Fidusia di tingkat
kabupaten/kota belum ada) mengeluarkan/menyerahkan Sertifikat Jaminan Fidusia
kepada pemohon atau Penerima Fidusia.
Dalam sertifikat
Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Sertifikat tersebut mempunyai
eksekutorial yang dipersamakan dengan putusan Pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap. Artinya adalah
sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dieksekusi tanpa melalui proses
persidangan dan pemeriksaan melalui Pengadilan dan bersifat final serta
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Sesuai ketentuan dalam
Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, dinyatakan bahwa
dalam hal terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat Jaminan Fidusia yang
telah diterima oleh pemohon, maka dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari setelah diterimanya sertifikat tersebut, pemohon wajib
memberitahukan kepada kantor untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Penerbitan
sertifikat perbaikan tersebut tidak dikenakan biaya.
4.
Hak
Preferensi Pemegang Fidusia
Ketentuan KUH Perdata
dalam pasal 1133 (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya
memberikan hak preferensi kepada kreditur pemegang :
a.
Hipotek (untuk kapal laut dan pesawat
udara)
b.
Gadai
c.
Hak Tanggungan (hak jaminan atas tanah)
d.
Fidusia.
Hak preferensi dari penerima
fidusia telah diatur pada Pasal 27 ayat (2) UUJF, yang bunyinya, hak preferensi
adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Mengenai kedudukan hak
preferensi dari penerima fidusia jika debitur mengalami pailit atau likuidasi,
telah diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUJF, yang bunyinya: ”hak preferensi dari
penerima fidusia tidak hilang dengan pailit atau dilikuidasinya debitur.”
Dengan demikian jika
debitur terkena pailit atau dilikuidasi maka penerima fidusialah yang terlebih
dahulu menerima pelunasan hutangnya yang diambil dari penjualan barang objek
fidusia dan jika ada sisa baru diberikan
kepada kreditur lainnya. Selanjutnya mengenai kemungkinan adanya lebih dari satu
fidusia atas satu objek jaminan fidusia, maka berdasarkan Pasal 28 hak
preferensi diberikan kepada hak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor
Pendaftaran Fidusia
Menurut Munir Fuady,
bahwa tidak ada hak preferensi kepada
penerima fidusia yang kedua dengan alasan sebagai berikut:
a.
Jika sistem pendaftarannya berjalan
secara baik dan benar, maka hampir tidak mungkin ada pendaftaran fidusia yang
kedua;
b. Jika
fidusia tidak mungkin didaftarkan, maka
fidusia yang tidak terdaftarkan tersebut sebenarnya tidak eksis, karena fidusia
dianggap lahir setelah didaftarkan;
c. Karena
fidusia ulang memang dilarang oleh Undang-Undang Fidusia No.42 Tahun 1999.
5.
Pengalihan
dan Hapusnya Jaminan Fidusia
Pengalihan jaminan
fidusia diatur dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Pasal 19 UUJF, bunyinya yaitu:
a.
Pengalihan hak atas piutang yang dijamin
dengan Fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada kreditur
baru.
b. Beralihnya
jaminan fidusia didaftarkan oleh kreditur baru kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia.
Pengalihan hak atas
hutang (cession), yaitu pengalihan piutang yang dilakukan dengan akta otentik
maupun akta di bawah tangan. Yang dimaksud dengan mengalihkan antara lain
termasuk dengan menjual atau menyewakan dalam rangka kegiatan usahanya.
Pengalihan hak atas hutang dengan jaminan fidusia dapat dialihkan oleh penerima
fidusia kepada penerima fidusia baru
(kreditur baru). Kreditur baru inilah yang melakukan pendaftaran tentang
beralihnya jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dengan adanya cession
ini, maka segala hak dan kewajiban penerima fidusia lama beralih kepada
penerima fidusia baru dan pengalihan hak atas piutang tersebut diberitahukan
kepada pemberi fidusia. Pemberi fidusia dilarang untuk mengalihkan menggadaikan
atau menyewakan kepada pihak lain benda
yang menjadi objek fidusia, karena jaminan fidusia tetap mengikat benda yang
menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada.
Pengecualian dari ketentuan ini adalah bahwa pemberi fidusia dapat mengalihkan
atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.
Jadi pengalihan
perjanjian pokok dalam mana diatur hak atas piutang yang dijamin dengan
fidusia, mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban penerima
fidusia kepada kreditur baru. Selanjutnya kreditur baru harus mendaftarkan ke
kantor pendaftaran fidusia. Selain dapat dialihkan jaminan fidusia juga dapat
hapus. Yang dimaksud dengan hapusnya jaminan fidusia adalah tidak berlakunya
lagi jaminan fidusia.
Ada tiga sebab hapusnya
jaminan fisudia, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 tentang Jaminan Fidusia, yaitu:
a.
Hapusnya hutang yang dijamin dengan fidusia yang dimaksud hapusnya hutang adalah
antara lain karena pelunasan dan bukti hapusnya hutang berupa keterangan yang
dibuat kreditur;
b. Pelepasan
hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia atau;
c. Musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan
fidusia. Musnahnya benda jaminan fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi.
Apabila hutang dari
pemberi fidusia telah dilunasi olehnya menjadi kewajiban penerima fidusia,
kuasanya, atau walaupun untuk
memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai
hapusnya jaminan fidusia yang disebabkan karena hapusnya hutang pokok. Pemberitahuan itu dilakukan paling
lambat 7 hari setelah hapusnya jaminan fidusia yang bersangkutan dengan
dilampiri dokumen pendukung tentang hapusnya jaminan fidusia. Dengan
diterimanya pemberitahuan tersebut, maka ada 2 hal yang dilakukan Kantor
Pendaftaran Fidusia, yaitu:
a.
Pada saat yang sama mencoret pencatatan
jaminan fidusia dari buku daftar fidusia; dan
b. Pada
tanggal yang sama dengan tanggal pencoretan jaminan fidusia dari buku daftar
fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang
menyatakan “sertifikat jaminan fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi”.
Hapusnya fidusia karena
musnahnya hutang yang dijamin dengan
fidusia adalah sebagai konsekuensi dari sifat perjanjian jaminan Fidusia
sebagai perjanjian ikutan/assesoir dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian
hutang/kredit. Jadi, jika perjanjian kreditnya lenyap karena alasan apapun maka
jaminan fidusia ikut lenyap pula. Hapusnya jaminan fidusia karena pelepasan hak
oleh penerima fidusia adalah wajar mengingat pihak penerima fidusia bebas untuk
mempertahankan haknya atau melepaskan haknya.
Dengan musnahnya objek
jaminan fidusia maka jaminan fidusia juga hapus karena tidak ada manfaatnya
fidusia dipertahankan jika objeknya musnah. Namun apabila benda yang menjadi
objek jaminan fidusia diasuransikan dan kemudian benda tersebut musnah karena
sesuatu sebab, maka hak klaim asuransi dapat dipakai sebagai pengganti benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dan diterima oleh penerima fidusia, karena
menurut Pasal 10 huruf dan Pasal 25 UUJF
bahwa jaminan fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi
objek jaminan fidusia diasuransikan, dan musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak menghapus
klaim asuransi.
Berdasarkan Pasal 25
ayat (3) UUJF hapusnya jaminan fidusia wajib diberitahukan oleh kreditur
penerima fidusia kepada kantor penerima fidusia dengan melampirkan pernyataan
mengenai hapusnya hutang, pelepasan hak atas jaminan fidusia atau musnahnya
benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Ketentuan ini merupakan konsekuensi
logis dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) yang mengatur bahwa apabila terjadi
perubahan mengenai hal-hal yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia.
Penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan
tersebut kepada kantor pendaftaran fidusia. Dengan pemberitahuan tersebut
Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pencoretan pencatatan jaminan fidusia dari
Buku Daftar Fidusia dan menerbitkan surat keterangan yang menyatakan sertifikat
Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Adapun tujuan prosedur
tersebut adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat atau pihak
ketiga bahwa terhadap benda tersebut sudah tidak dibebani dengan Jaminan
Fidusia.
6. Peraturan Perundangan Tentang
Jaminan Fidusia
Adapun
peraturan perundangan tentang jaminan fidusia adalah sebagai berikut:
a.
UU Republik Indonesia No.42 tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia
b. UU
No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang
Berkaitan Dengan Tanah
c. Peraturan
Kapolri No.8 Tahun 2011 Tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia
d. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran
Jaminan Fidusia & Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
F.
Hak
Tanggungan
Globalisasi mendorong perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga
diperlukan kepastian hukum bagi lembaga-lembaga ekonomi, khususnya bagi lembaga
pemberi piutang seperti bank dan lembaga keuangan lainnya, untuk menjamin
kembalinya haknya. Banyak benda yang bisa dijaminkan dalam perhutangan, bisa
benda bergerak ataupun benda bergerak. Hak tanggungan merupakan jaminan benda
tak bergerak, tentang hak tanggungan ini mulai berlaku tanggal 19 april 1996
dengan UU No. 4 tahun 1996. Padadasarnya, pada UU No. 5 tahun 1960 telah
dijanjikan bahwaakan diatur hak tanggungan sebagai hak yang memberi jaminan
atas tanahdan benda-benda yang berada atas tanah itu, baik berikut dengan
benda-benda atas tanah tersebut atau tidak, akan dibuat peraturannya oleh pemerintah.
Berlakunya undang-undang hak
tanggungan No.4 tahun 1996, menghapus ketentuan tentang hipotek serta
creditverband. Sebelum ada UU No. 4 Tahun 1996, yang dapat dijadikan jaminan hipotek
adalah hak-hak tertentu atas tanah seperti : hak milik, hak-hak guna bangunan.
Hak pakai belum dimungkinkan untuk dijadikan jaminan untuk hutang. Tapi, pada
Undang-undang hak tanggungan tahun 1996, hak pakai tertentu yaitu yang wajib
didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan, telah dijadiakn juga
sebagai objek dari hak tanggungan. Undang-undang hak tanggungan memiliki
cakupan lebih luas disbanding undang-undang sebelumnya, terutama dalam rangka
peroses pembangunan secara besar-besaran dibidang ekonomi pada umumnya dan real
estate pada khususnya yaitu, dalam rangka program pemerintahyang
diselenggarakan dengan mendirikan rumah susun, apartement dan komdominium.
Ternyata atas benda seperti ini diberi kesempatan untuk dijadikan sebagai objek
hak tanggungan.
1.
Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan
yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari definisi di atas dapat di
simpulkan bahwa hak tanggungan :
a. Merupakan hak jaminan untuk pelunasan hutang (kredit).
b. Dapat di bebankan pada hak atas tanah, dengan atau
tanpa benda di atasnya.
c. Menimbulkan kedudukan di dahulukan daripada
kreditor-kreditor lain.
Pengertian hak tanggungan
sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh
asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA. Asas pemisahan
horizontal ini menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas
benda-benda di atas tanah tersebut.
Namun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa banyak bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya,
sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah berikut
benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, jika hal ini
dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara tegas didalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan tersebut adalah hak atas
tanah beserta benda-benda lain di atasnya
2.
Sifat Hak Tanggungan.
Hak tanggungan memiliki sifat tidak
dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang
tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh obyek
Hak Tanggungan. Artinya,apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya
dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka Hak Tanggungan tetap
membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Klausula “kecuali jika diperjanjikan
dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT,dicantumkan dengan maksud untuk menampung
kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan
manggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan
dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan
dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin
dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai
masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan,
yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah
suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak
Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi
3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan
Di dalam pasal 4 UUHT diatur tentang
pelbagai macam hak atas tanah yang dapat di ijadikan objek Hak Tanggungan,
yaitu:
a. Hak milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
d. Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
e. Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Selain hak-hak diatas tanah seperti dikemukakan di atas, yang dapat
dijadikan objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan (baik
yang berada diatas tanah maupun dibawah tanah) tanaman dan hasil karya
(misalnya candi,patung, gapura, relief) yang telah ada atau akan ada, yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan
hasil karya tersebut harus dinyatakan dengan tegas didalam APHT yang bersangkutan.
Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud diatas tidak
dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas
benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta
(bersama)pada APHT yang bersangkutan oleh pemilik bangunan, tanaman dan hasil
karya tersebut, atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk
menadatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud dengan
akta otentik adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-
banda diatas tanah tersebut. Dengan penjelasan umum UUHT, disebut 2 unsur
mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan,
yaitu:
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor Pertahanan;
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat
dipindahtangankan.
Berdasarkan kedua unsur mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan
maka, hak milik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena
sesuai dengan hakekat perwakafan yakni hak milik yang sudah diwakafkan
merupakan hak milik yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan
demikian, semua hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan
dan keperluan suci liannya tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan,
sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, meliputi
hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas
tanah hak Negara. Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan UUHT ini tidak
dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai
tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi
syarat publisitas.
Dalam perkembangannya sekarang hak pakai atas tanah Negara harus
didaftarkan, sehingga dapat dipindah tangankan. Hak pakai yang tidak dapat
dipindah tangankan antara lain hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas
nama badan keagamaan dan social, hak pakai atas nama perwakilan Negara asing
yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan dan hak pakai tersebut diberikan
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan instansi atau badan diatas. Hak
pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan objek hak anggungan, karena
hingga saat ini tidak terdapat kewajiban untuk mendaftarkan hak pakai diatas
tanah hak milik. Akibatnya, salah satu syarat mutlak agar suatu hak atas tanah
dapat dijadikan objek hak tanggungan tidak terpenuhi. Menurut pasal 4 ayat 3
UUHT, pembebanan hak tanggungan atas hak pakai diatas tanah hak milik akan
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang hak tanggungan didaftarkan atas asas pemisahan horizontal
(horizontale scheiding), sebagai kebalikan dari pemisahan vertical (verticale
scheiding). Menurut BW yang belaku terdahulu, tanah dan bangunan yang didirikan
atasnyamerupakan suatu kesatuan. Dengan kata lain pemilik dari tanah adalah
pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan vertical.
Menurut hukum adat bisa saja pemilik tanah berlainan dari pemilik bangunan yang
ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan horizontal dan karena undang-undang
pokok agraria tahun 1960 menyatakan bahwa hukum dapat yang dipakai sebagai
dasar, maka tidak mengherankan jika pemakaian asas horizontal ini dipakai dalam
system hak tanggungan.
Sedangkan
subyek hak tanggungan adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian pembebanan hak
tanggungan, yaitu:
a.
Pemberi
hak tanggungan (kreditur
Pemberi
Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan. Kewenangan tersebut
harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan
(Pasal 8 UUHT).Dari penjelasan umum UUHT antara lain dijelaskan bahwa pada saat
pembuatan SKMHT dan APHT, harus sudah ada keyakinan pada Notaris atau PPAT yang
bersangkutan bahwa pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang dibebankan. Meskipun
kepastian mengenai dimilikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada
waktu pemberian Hak Tanggungan itu didaftar.
b. Penerima hak tanggungan (debitur)
Pemegang
Hak Tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang (Pasal 9 UUHT). Karena Hak Tanggungan sebagai lembaga hak atas
tanah tidak mengandung kewenagan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan
tanah yang dijadikan pemberi Hak Tanggungan kecuali dalam keadaan yang
disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c, maka pemegang Hak tanggungan dapat
dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia atau Warga
Negara Asing atau Badan Hukum Asing.
4.
Sifat Hak Tanggungan
Adapun sifat-sifat dari Hak Tanggungan
adalah:
a.
Hak Tanggungan memberikan
hak preferent (droit de preferent), atau kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya (Pasal 6).
b.
Hak Tanggungan tidak dapat
dibagi-bagi kecuali diperjanjikan (Pasal 2 UUHT).
c.
Hak Tanggungan untuk
menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada. (Pasal 4 ayat (4)
d.
Hak Tanggungan mempunyai
sifat doit de suite (selalu mengikuti bendanya, ditangan siapapun benda
tersebut berada).(Pasal 7)
e.
Hak Tanggungan dibebankan
kepada hak atas tanah saja.
f.
Hak Tanggungan memiliki
kekuatan eksekutorial.
g.
Hak Tanggungan memiliki
sifat spesialitas dan publisitas.
h.
Objek Hak Tanggungan berupa
hak atas tanah, sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA/UU No. 5 Tahun 1960, yang
meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha.
5.
Tata Cara Pemberian Hak Tanggungan
Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara
kreditor dan debitor, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan :
a. membuat perjanjian yang menimbulkan hutang piutang
(atara lain berupa perjanjian pemberian kredit atau akad kredit) yang
pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan;
b. membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang
dituangkan kedalam akte pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaris / PPAT.
c. melakukan pendaftaran hak tanggungan pada kantor
pertanahan yang sekaligue merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang
dibebankan.
Perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian
pemberian kredit yang dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akta
dibawah tangan atau dengan akte otentik. Perjanjian ini merUpakan perjanjian
pokok, sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian
ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok. Dalam pemberian hak tanggungan,
pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jikan dengan lasan yang
dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan tidak dapat hadir sendiri, maka
ia wajib menunjuk kuasa dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan yang
berbentuk akte otentik. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat
dilakukan oleh notaris / PPAT yang keberadaannya sampai di wilayah kecamatan.
Hak tanggungan baru lahir ketika hak tanggungan tersebut dibukukan dalam buku
tanah dikantor pertanahan. Pendaftaran menentukan kedudukan kreditor sebagai
kreditor diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain dan menentukan peringkat
kreditor dalam hubungannya dengan kreditor lain yang juga pemegang hak
tanggungan atas tanah yang sama sebagai jaminannya. Peringkat masing-masing hak
tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor
pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama
ditentukan menurut nomor urut APHTnya, hal ini dimungkinkan karena pembuatan
beberapa APHT atas satu objek hak tanggungan hanya dapat dilakukan oleh PPAT
yang sama.
Menurut pasal 5 UUHT, suatu objek hak tanggungan dapat dibebani dengan
lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang.
Pemilik tanah atau persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat
menguasai tanah itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat
membebani tanah ditangan siapapun tanah itu berpindah.
Menurut pasal 11 UUHT, dimungkinkan untuk mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicntumkan bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT yang kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
Menurut pasal 11 UUHT, dimungkinkan untuk mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicntumkan bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT yang kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
a. janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan
untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka
waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan
tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan
untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan kecuali, dengan
persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan.
c. Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak
tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua
pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan
apabila debitor sungguh-sungguh ingkar janji.
d. Janji yang memberikan wewenang pada pemegang hak
tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukab
untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan kartena tidak dipenuhi atau
dilanggarnya ketentuan undang-undang.
e. Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitor
ingkar janji.
f. Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan
pertama bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan.
g. Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan
melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih
dahulu dari pemegang hak tanggungan.
h. Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh
seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan
untuk pelunasan piutangnya, apabila objek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh
pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
i.
Janji bahwa
pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang
asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika
objek hak tanggungan diasuransikan.
j.
Janji bahwa
pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu
eksekusi hak tanggungan.
k. Janji yang dimaksud pada pasal 14 ayat 4 UUHT, karena
tanpa janji ini, sertifikat hak tanah yang dibebani hak tanggungan akan
diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.
6.
Hak Previlege
Privilege termasuk jenis piutang yang diberikan
keistimewan atau piutang yang lebih didahulukan (bevoorrechte scdhulden) dalam
hal ada pelelangan (executie) dari harta kekayaan debitur dan dalam hal terjadi
kepailitan. Hak untuk didahulukan diantara orang-orang berpiutang menurut
ketentuan Pasal 1133 KUHPer timbul dari hak istimewa (privilege), disamping
dari gadai dan hipotek.
Selanjutnya Pasal 1134 KUHPer mengatakan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Hak istimewa (privilege) adalah suatu
hak yang oleh undang-undang diberikan berpiutang
lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
b.
Gadai dan Hipotek adalah lebih tinggi
daripada hak istimewa, kecuali dalam halhaldimana oleh Undang-undang ditentukan
sebaliknya.
Dengan demikian Privilege adalah hak yang diberikan
undang-undang terhadapseseorang, dan tidak diperjanjikan seperti halnya Gadai
dan Hipotek.Privilege sendiri dapat dibagi dalam dua macam yaitu:
a.
Privilege khusus yang tercantum dalam
Pasal 1139 KUHPer ada 9, merupakanprivilege yang diberikan terhadap benda-benda
tertentu dari debitur.
b.
Privilege umum diatur dalam Pasal 1149 KUHPer
ada 7, merupakan privilegeyang diberikan terhadap semua kekayaan debitur.
Privilege khusus mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada Privilegeumum (Pasal 1138 KUHPer) dan tidak ditentukan
urutannya, maksudnya walaupun disebut berturut-turut tapi tidak mengharuskan
adanya urutan; sedangkan Privilege umum ditentukan urutannya artinya yang lebih
dahulu disebut, dengan sendirinya didahulukan dalam pelunasannya.
Ciri-Ciri/Sifat-sifat Privilage
a.
Privilege baru ada kalau terjadi
penyitaan barang dan hasil penjualannyatidak cukup untuk membayar seluruh
hutang kepada kreditur.
b.
Privilege tidak memberikan kekuasaan
langsung terhadap suatu benda
c.
Merupakan hak terhadap benda debitur
d.
Merupakan hak untuk didahulukan dalam
pelunasannya.
Oleh karena itu Privilege bukanlah termasuk jaminan
kebendaan karena pada hakkebendaan cirri-ciri sebagai berikut:
a.
Hak itu sudah ada tanpa harus menunggu
ada penyitaan barang debiturterlebih dahulu.
b.
Hak kebendaan memberikan kekuasaan
langsung terhadap suatu benda.
c.
Hak kebendaan merupakan hak terhadap
suatu benda.
Namun Privilege diatur dalam Buku II KUHPer sejajar
dengan hak kebendaan.Hal ini disebabkan Privilege juga memiliki sifat droit
de suite dan merupakan hakyang memberikan jaminan seperti halnya Gadai dan Hipotek.
Namun para sarjanamenganggap bahwa seharusnya Privilege dimasukkan kedalam
Hukum Acara pedatayang termasuk Executie (pelelangan) harta kekayaan debitur
dan dalam hal debiturjatuh pailit.
Privilege juga bukan merupakan jaminan perorangan
sebab hak perorangan itutimbul pada saat suatu perjanjian terjadi misalnya,
jual beli, sewa menyewa danlain-lain, sedangkan Privilege timbul bila
barang-barang yang disita tidak mencukupiuntuk langsung melunasi hutang.
Disamping itu hak perongan lansgsung memberikansuatu tuntutan/tagihan terhadap
seseorang, sedangkan pada Privilage baru adatuntutan dalam hal debitur pailit.
Perbedaan antara Gadai dan Hipotek dengan Privilege
adalah kalau Gadai danHipotek adalah karena diperjanjikan sedangkan Privilege
diberikan/ditentukan oleh Undang-undang. Kemudian Gadai dan Hipotek lebih
didahulukan daripada Privilege,kecuali dalam hal ditentukan sebaliknya oleh
Undang-undang (Pasal 1134 ayat (2), 1139 ayat (1) dan 1149 ayat (1) KUHPer);
antara Gadai dan Hipotek tidak dipersoalkan mana yang harus didahulukan sebab
Gadai berkaitan dengan bendabergerak sedangkan Hipotek mengenai benda tidak
bergerak. Selanjutnya padaGadai, para pihak bebas untuk menjamin dengan Gadai
terhadap piutang apapunjuga, sedangkan pada Privilege, Undang-undang mengaitkan
Privilege itu padahubungan-hubungan hukum tertentu.
Meskipun Gadai dan Hipotek berada dalam urutan di
atas Privilege artinya hakutama yang diperjanjikan berada di atas hak utama
menurut undang-undang namun ada pengecualiannya yaitu dalam hal undang-undang
menentukan sebaliknya, termasuk didalamnya antara lain hutang-hutang sebagai
berikut:
a.
Ongkos-ongkos dalam rangka eksekusi
b.
Uang sewa
c.
Ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk
pemeliharaan benda-benda yangbersangkutan sesudah benda-benda tersebut
digadaikan.
d.
Beberapa Privilege lainnya seperti
pajak-pajak, bea-cukai dan lain-lain.
e.
Hak-hak utama dalam Pasal 318 KUHDagang
dan lain-lain
7.
Eksekusi Hak Tanggungan.
Apabila debitur tidak memenuhi janjinya, yakni tidak melunasi hutangnya
pada waktu yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 20 UUHT pemegang hak
tanggungan pertama atau pemegang sertifikat hak tanggungandengan title
eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungantersebut, berhak
menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang
hak tanggungan dengan hak didahulukan dari kreditor-kreditor lain.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksud piutang macet adalah piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet adalah piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksud piutang macet adalah piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet adalah piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui Badan Urusan Piutang Dan Lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.
Sertifikat hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional
dan dapat langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata
“demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut
memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah
memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini sesui dengan bagian ke-II dari nomor 9
memori penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996
yang menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi
sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman
irah-irah tersebut.
Menurut pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa dicantumkan pada sertifikat hak tanggungan
memiliki kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan
berlaku sebagai pengganti grosse akte hipotek sepanjang mengenaii hak atas
tanah. Dalam undang-undang hak tanggungan tentang eksekusi belum diatur, maka
peraturan mengenai eksekusi hipotek yang diatur dalam HIR dan RB yang berlaku
sebagai eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak
tanggungan.
Penyelesaian piutang melalui BUPLN dilaksanakan dengan menerbitkan surat
paksa atau surat pernyataan bersama dan jika melalui penmgadilan negeri,
debitor akan dipanggilan oleh ketua pengadilan negeri setelah ketua pengadilan
negeri meneriam permohonan dari kreditor. Awalnya penanggung hutang diminta
untuk membayar secara sukarela dengan melalui teguran dan diberi kesempatan
selama 8 hari untuk membayarnya, jika tidak dibayar, maka eksekusi akan
dilanjutkan dengan menyita hartanya dan kemudian dilelangkan untuk melunasi
hutangnya. Dalam penyelesaian melalui pengadilan negeri sebelumhak tanggungan
dilelang, didahului dengan pengumuman dalam surat kabar didaerah tersebut
sebanyak dua kali dengan tenggang waktu 15 hari.
Apabila penjualan melalui pelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan penerima hak
tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan.
Sampai pada saat pengumuman lelang dikeluarkan, masih dapat dibatalkan jika
hutang terlebih dahulu dibayar oleh pemilik hutang.
Jika hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dilunasi, maka badan pertanahan akan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat haka atas tanah yang dijakdikan objek hak tanggungan atau dengan catatan dari kreditor pemberi hak tanggungan meminta pada badan pertanahan untuk mencoretnya. Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan bahwa hutang telah lunas, maka pihak yang berkepentingan bisa meminta melalui kepada ketua pengadilan negeri setempat, dengan penetapan pengadilan negeri maka debitur memohon pencoretan pada kantor pertanahan.
Jika hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dilunasi, maka badan pertanahan akan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat haka atas tanah yang dijakdikan objek hak tanggungan atau dengan catatan dari kreditor pemberi hak tanggungan meminta pada badan pertanahan untuk mencoretnya. Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan bahwa hutang telah lunas, maka pihak yang berkepentingan bisa meminta melalui kepada ketua pengadilan negeri setempat, dengan penetapan pengadilan negeri maka debitur memohon pencoretan pada kantor pertanahan.
G. Hipotek
Mengenai hipotek akan
dijelaskan berbagai aspek didalamnya seperti asal istilah, sifat sampai
penghapusan hipotek yang akan dibahas secara rinci dibawah ini:
1. Pengertian Hipotek
Istilah hipotek berasal
dari hukum Romawi, yaitu “hypotheca”.
Istilah itu diambil alih oleh KUHPer, di dalam UUPA istilah hipotek tidak
dipergunakan, sebagai gantinya dipergunakan istilah “hak tanggungan”. Istilah
hipotek tetap dipergunakan oleh Undang-Undang Rumah Susun No. 16 Tahun 1985
(UURS), Undang-Undang Perumahan dan Permukiman No. 4 Tahun 1992 (UUPP), KUH
Dagang mengenai hipotek kapal terdaftar, dan Undang-Undang Penerbangan (UUP).
Perbedaan istilah ini menumbuhkan kerancuan bagi masyarakat. Sangat disayangkan
bahwa pembentuk UU melupakan asas konsistensi dalam penyusunan UU. Dalam KUHPer
pasal 1162, Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang
dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu perikatan.
2. SifatHipotek
Hipotek mengandung
sifat hak kebendaan, karena hipotek merupakan subsistem dari hukum benda. Untuk
mencari sifat hipotek, harus dicari di dalam sifat hukum benda.
3. ObjekHipotek
Yang dapat dijadikan
objek hipotek adalah sebagai berikut:
a.
Hak milik;
b.
Hak guna bangunan;
c.
Hak guna usaha;
d.
Rumah susun yang terletak di atas hak
milik, atau hak guna bangunan;
e.
Satuan rumah susun yang terletak di atas
tanah hak milik atau hak guna bangunan;
f.
Perumahan yang terletak di atas tanah
hak milik atau hak guna bangunan;
g.
Kapal yang berbobot 20m³;
h.
Pesawat udara.
Namun, lembaga hipotek
pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat jaminan utang yang berupa kapal
laut berukuran bobot 20m³ atau lebih sesuai dengan ketentuan pasal 314 KUH Dagang
dan UU No. 21 tahun 1992 tentang pelayaran, dengan mengacu antara lain kepada
ketentuan hipotek yang tercantum dalam KUH Perdata. Pengikatan kapal laut
melalui hipotek memberikan kepastian hukum bagi kreditur sesuai dengan
dibuatnya akta dan sertifikat hipotek yang dalam praktek pelaksanaannya adalah
berupa akta hipotek berdasarkan perjanjian pinjaman dan akta kuasa memasang
hipotek.
Sedangkan mengenai hak
tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lain. Pemberiannya yang menimbulkan hubungan hukum tentang
hutang piutang yang dijamin pelunasannya.
4. Para Pihak Yang Terlibat
Di dalam perjanjian
hipotek terdapat dua pihak, yaitu pemberi
dan penerima hipotek. Di dalam KUH Perdata tidak terdapat batasan
tentang pemberi hipotek. Akan tetapi, di dalam UUPA, UURS, dan UUPP terdapat
batasan itu, dalam kaitannya dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap
hak atas tanah.
Pemberi hipotek atas
tanah hak milik adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang ditetapkan
oleh pemerintah. Badan-badan hukum yang boleh mempunyai hak milik (PP No. 38
tahun 1963 LN 1963 No. 61) adalah sebagai berikut:
1.
Bank-bank yang didirikan oleh
pemerintah;
2.
Perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan
berdasarkan UU No. 79 tahun 1958;
3.
Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk
oleh Menteri Dalam Negeri (dahulu oleh Menteri Pertanian dan Agraria) setelah
mendengar Menteri Agama;
4.
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh
Menteri Pertanian dan Agraria (sekarang Menteri Dalam Negeri) setelah mendengar
Menteri Sosial;
5.
Wewenang menguasai (beschikkingsbevoegdheid) pemberi hipotek.
Di dalam KUH Perdata
disebutkan bahwa hipotek tidak dapat diletakkan selainnya oleh yang berkuasa
memindahtangankan benda yang dibebani. (pasal 1168 KUH Perdata). Ketentuan ini
merupakan realisasi pasal 584 KUH Perdata yang mengatakan “hak milik atas
sesuatu kebendaan tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan karena
perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang
maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasarkan
suatu peristiwa perdata; untuk memindahkan hak milik dilakukan oleh seorang
yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
Dapat disimpulkan bahwa
yang dapat menjadi pemberi hipotek hak atas tanah terdaftar adalah warga Negara
Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia. Yang dapat memberikan hipotek hak guna usaha adalah
warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.
Sekarang mengenai
penerima hipotek yang dimana hak hipotek adalah hak untuk mendapat pelunasan
utang yang diambil dari nilai (waarde)
barang-barang yang dihipotekkan. Untuk mendapat pelunasan benda ini, benda hipotek dijual di depan
umum. Dengan demikian maka penerima hipotek di dalam UUPA dapat siapa saja
(perorangan, badan hukum) asal pembeli barang hipotek itu adalah mereka yang
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna
usaha.
5. Terjadinya Hipotek
a.
Tiga Fase Terjadinya Hipotek
Fase pertama:perjanjian untuk memberikan hipotek.
Dalam fase ini para pihak sepakat, dimana pihak debitur berjanji untuk suatu
pinjaman uang, debitur memberikan hipotek kepada kreditur.
Fase kedua: perjanjian
pemberian atau pembebanan hipotek. Akta ini ditandatangani oleh para pihak,
para saksi dan pejabat, dibuat sebanyak
yang diperlukan untuk ppat sendiri dan seksi pendaftaran tanah.
Fase ketiga:pendaftaran hipotek. Akta hipotek harus
didaftar (pasal 2 PMA 15 tahun 1961). Pendaftaran hipotek diperlukan karena
mempunyai kekuatan sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 2 UUPA)
eksistensi hipotek lahir pada saat pendaftaran dilakukan.
b.
Sertifikat
Mengacu kepada UURS,
maka yang disebutkan sertifikat hipotek adalah salinan buku tanah hipotek dan
salinan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tanggal buku tanah hipotek
adalah tanggal yang ditetapkan tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya oleh kantor pertanahan atau
jika hari itu pada hari libur, maka buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal
hari kerja berikutnya. Sertifikat mempunyai kekuatan eksekutorial dan dapat
dilaksanakan sebagai putusan pengadilan (pasal 14). Sertifikat hipotek adalah
merupakan alat bukti yang kuat dari eksistensi hipotek.
c.
Kuasa Memasang Hipotek
Di dalam praktik
perbankan selalu terjadi bahwa akta PPAT yang mengandung perjanjian pemberian
hipotek, karena beberapa alasan tertentu, tidak diteruskan dengan pendaftaran
hipotek, akan tetapi dilanjutkan dengan membuat Surat Kuasa Memasang Hipotek
(SKMH). Kuasa ini menurut pasal 1171 ayat 2 KUH Perdata harus dibuat dengan
suatu akta autentik. Di dalam sistem UUPA, akta autentik ini tidak ditafsirkan
dengan akta PPAT, akan tetapi dengan akta notaris.
Di dalam praktik, surat
kuasa ini lazimnya mengandung syarat tidak dapat dicabut. Tujuannya ialah untuk
menutup kemungkinan pencabutan kuasa itu oleh debitur, sehingga kreditur setiap
saat yang diperlukan tetap mempunyai hak untuk mendaftarkan hipotek.
6. Janji-Janji Hipotek
Di dalam akta hipotek
dapat diadakan janji yang bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur.
Janji ini ada empat yang harus secara tegas dicantumkan dalam akta hipotek,
yaitu:
1.
Janji yang memberikan kuasa kepada
kreditur untuk menjual benda jaminan dengan kekuasan sendiri (beding van eigenmachtige verkoop).
Pasal 1178 KUH Perdata.
2.
Janji sewa (huurbeding), pasal 1185 KUH Perdata.
3.
Janji asuransi (assurantiebeding), pasal 297 KUH Dagang.
4.
Janji untuk tidak dibersihkan (beding van niet zuivering) pasal 1210
KUH Perdata.
7. Tingkat-Tingkat Hipotek
Di atas telah
dikemukakan bahwa hipotek adalah hak kebendaan. Hak kebendaan ini lahir pada
saat akta hipotek itu didaftar dalam buku tanah. Benda hipotek dapat dibebani
dengan beberapa hipotek. Bertitik tolak dari saat pendaftaran dilakukan maka
lahirlah tingkat pemegang hipotek yaitu pemegang hipotek pertama, kedua, ketiga
dan seterusnya. Tingkat-tingkat merupakan realisasi dari suatu asas yaitu
mendahulukan hak yang lebih tua dari yang lebih muda.
Aturan pokok tentang
tingkat hipotek terdapat dalam pasal 1182 KUH Perdata. Ketentuan itu berkata
“tingkat-tingkat orang-orang berpiutang dengan jaminan hipotek ditentukan
menurut tanggal pembukuan mereka”. Jadi, prioritas pertama adalah pada pemegang hipotek pertama.
8. Hapusnya Hipotek
Undang-undang
menyebutkan tiga cara hapusnya hipotek. Menurut pasal 1209 KUH Perdata hipotek
hapus:
a.
Karena hapusnya perikatan pokok;
b.
Karena pelepasan hipoteknya oleh kreditur;
c.
Karena penetapan tingkat oleh hakim.
9. Pencoretan (Roya)
Jika hipotek dihapus,
maka dilakuakn pencoretan (roya)
terhadap pendaftran hipotek. Jika tidak, maka publik tidak akan mengetahui
posisi hapusnya hipotek, sehingga terdapat kesulitan untuk mengalihkan atau pun
membebani kembali benda tersebut. Pencoretan itu dilakukan dengan izin para
pihak yang berkepentingan atau menurut suatu putusan hakim yang dijatuhkan
dalam tingkat penghabisan atau yang telah memperoleh kekuatan mutlak (pasal
1195 ayat KUH Perdata). Kantor badan pemerintah mencatat hapusnya hak
tanggungan (hipotek), jika kepadanya disampaikan surat tanda bukti penghapusan
(pasal 29 ayat 2 PP 10 tahun 1961).
10. EksekusiHipotek
Jika di dalam suatu
perjanjian kredit, debitur ingkar janji, benda hipotek dijual di depan umum dan
hasil dari penjualan itu diserahkan kepada debitur sebagai pelunasan utang.
Pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata mengatakan sebagai berikut “kreditur hipotek pertama, pada waktu pembebanan hipotek boleh
mensyaratkan dalam hal utang poko atau bunga yang terutang tidak dibayar, maka
ia akan diberi kuasa secara mutlak untuk menjual benda hipotek itu di muka umum
agar hasilnya dapat untuk melunasi
jumlah utang pokok, bunga, dan biaya”.
Permasalahan yang
sering timbul dalam pelaksanaan eksekusi hipotek adalah belum adanya persepsi
yang sama antara berbagai instansi yang terkait seperti:
a.
Penyebutan title ekekutorial “irah-irah”
b.
Penggunaan Grosse akta pengakuan utang untuk nmencairkan utang yang dijamin
dengan hipotek
c.
Surat Kuasa Memasang Hipotek
d.
Pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata
e.
Perangkat hukum tentang hipotek
BAB
IV
PENUTUP
Simpulan
Setelah melakukan
pembahasan,maka kami dapat menarik beberapa kesimpulan seperti di bawah ini:
1.
Jaminan hutang merupakan ketentuan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitur dengan
penerima jaminan atau kreditur sebagai pembebanan suatu utang tertentu atau
kredit dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).
2. Penggolongan
jaminan diantaranya adalah Jaminan yang bersifat
Umum, Jaminan yang bersifat Khusus, Jaminan yang bersifat Kebendaan dan
Perorangan, Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak, Jaminan dalam bentuk Benda
Tidak Bergerak, Jaminan yang lahir karena Undang-undang, dan Jaminan yang lahir
karena Perjanjian
3.
Penanggungan ialah suatu persetujuan di
mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Mengenai
penanggungan hutang ini diatur dalam KUHPer pasal 1820 sampai dengan 1850.
4.
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh kreditur, atau
oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada
kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dan barang itu dengan mendahalui
kreditur-kreditur lain.
5.
Fidusia adalah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda
yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dan Jaminan
fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud /tidak
berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani
6.
Hak tanggungan
adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud
dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain.
7. Hipotek
adalah suatu hak kebendaan atas barang tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam
pelunasan suatu perikatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Bahsan,M.2007.
Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit
Perbankan Indonesia. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada
Latif,Azharudin.
Nahrowi. 2009. Pengantar Hukum Bisnis
Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta
Fuady,
Munir. 2003. Jaminan Fidusia.
Bandung: PT. Aditya Bakti
H.S.,
Salim. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan
Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Widjaja,
Gunawan. Yani, Ahmad. 2001. Seri Hukum
Bisnis, Jaminan Fidusia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
REFERENSI TAMBAHAN
LAMPIRAN
1.
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
2.
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia
3.
PP No. 27 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
4.
PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
No comments:
Post a Comment