1.SEJARAH
ASURANSI
A. Sejarah Asuransi
Diharapkan dengan mengawali pengetahuan tentang
Sejarah Asuransi dengan lebih mudah karena akan lebih menghayati atau menjiwai
tentang latar belakang dan asal usulnya. Dari penggalian sejarah perekonomian
dan kebudayaan manusia, sejak zaman sebelum masehi ditemukan riwayat asal usul
sampai perkembangan asuransi seperti sekarang ini. Pada perkembangan awalnya
asuransi tentu belum berbentuk seperti sekarang, namun dalam bentuk yang masih
samar. Manusia pada umumnya mempunyai naluri selalu berusaha menyelamatkan
jiwanya dari berbagai ancaman, termasuk ancaman kekurangan makan/pangan.
Salah satu riwayat mengenai masalah ini tercantum pada
Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 43 – 49 dan Kitab Injil Perjanjian Lama Genesis 41.
Diriwayatkan tentang salah seorang Raja di Negeri Mesir yang bermimpi melihat
tujuh ekor sapi yang kurus-kurus masingrmasing menelan seekor sapi yang gemuk.
Dalam mimpinya yang kedua Raja melihat tujuh butir gandum yang kosong. Nabi Yusuf
A.S. diminta menafsirkan mimpi tersebut dan menerangkan bahwa negara Mesir akan
mengalami tujuh tahun berturut-turut panen gandum yang subur dan kemudian tujuh
tahun berikutnya berturut-turut akan mengalami masa paceklik. Selanjutnya
NabiYusuf AS. memberi saran agar pada saat panen yang melimpah itu sebagian
panen dicadangkan untuk masa paceklik yang akan datang.
Selain itu sebuah buku kuno dari India yang dinami
“Rig Veda” yang ditulis dalam bahasa Sansekerta menyebutkan riwayat tentang
“Yoga Kshema” yang berarti pertanggungan. Riwayat di atas adalah sebagai bukti
bahwa manusia senantiasa memikirkan dan mempersiapkan kehidupan masa depannya.
Sekitar tahun 2250 SM bangsa Babylonia hidup di daerah
lembah sungai Euphrat dan Tigris (sekarang menjadi wilayah Irak), pada waktu
itu apabila seorang pemilik kapal memerlukan dana untuk mengoperasikan kapalnya
atau melakukan suatu usaha dagang, ia dapat meminjam uang dari seorang saudagar
(Kreditur) dengan menggunakan kapalnya sebagai jaminan dengan perjanjian bahwa
si Pemilik kapal dibebaskan dari pembayaran hutangnya apabila kapal tersebut
selamat sampai tujuan, di samping sejumlah uang sebagai imbalan atas risiko
yang telah dipikul oleh pemberi pinjaman. Tambahan biaya ini dapat dianggap
sama dengan “uang premi” yang dikenal pada asuransi sekarang. Di samping kapal
yang dijadikan barang jaminan, dapat pula dipakai sebagai jaminan berupa
barang-barang muatan (Cargo). Transaksi seperti ini disebut “RESPONDENT/A
CONTRACT”.
B. Sejarah Asuransi Di Indonesia
Bisnis asuransi masuk ke Indonesia pada waktu
penjajahan Belanda dan negara kita pada waktu itu disebut Nederlands Indie.
Keberadaan asuransi di negeri kita ini sebagai akibat berhasilnya Bangsa
Belanda dalam sektor perkebunan dan perdagangan di negeri jajahannya.
Untuk menjamin kelangsungan usahanya, maka adanya
asuransi mutlak diperlukan. Dengan demikian usaha pera.suransian di Indonesia
dapat dibagi dalam dua kurun waktu, yakni zaman penjajahan sampai tahun 1942
dan zaman sesudah Perang Dunia II atau zaman kemerdekaan. Pada waktu pendudukan
bala tentara Jepang selama kurang lebih tiga setengah tahun, hampir tidak
mencatat sejarah perkembangan. Perusahaan-perusahaan asuransi yang ada di
Hindia Belanda pada zaman penjajahan itu adalah :
- Perusahaan-perusahaan
yang didirikan oleh orang Belanda.
- Perusahaan-perusahaan
yang merupakan Kantor Cabang dari Perusahaan Asuransi yang berkantor pusat
di Belanda, Inggris dan di negeri lainnya.
Dengan sistem monopoli yang dijalankan di Hindia
Belanda, perkembangan asuransi kerugian di Hindia Belanda terbatas pada
kegiatan dagang dan kepentingan bangsa Belanda, Inggris, dan bangsa Eropa
lainnya. Manfaat dan peranan asuransi belum dikenal oleh masyarakat,
lebih-lebih oleh masyarakat pribumi.
Jenis asuransi yang telah
diperkenalkan di Hindia Belanda pada waktu itu masih sangat terbatas dan
sebagian besar terdiri dari asuransi kebakaran dan pengangkutan. Asuransi
kendaraan bermotor masih belum memegang peran, karena jumlah kendaraan bermotor
masih sangat sedikit dan hanya dimiliki oleh Bangsa Belanda dan Bangsa Asing
lainnya. Pada zaman penjajahan tidak tercatat adanya perusahaan asuransi
kerugian satupun. Selama terjadinya Perang Dunia II kegiatan perasuransian di
Indonesia praktis terhenti, terutama karena ditutupnya pemsahaan- perusahaan asuransi
milik Belanda dan Inggris
2.PENGERTIAN
ASURANSI
Menurut UU no. 2
tahun 1992
“Asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara 2 (dua) pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau taggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dan suatu peristiwa
tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
rneninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal 302. pasal 308 KUHD. Jadi hanya 7 (tujuh) pasa. Akan tetapi tidak 1 (satu) pasalpun yang memuat rumusan definisi asuransi jiwa. Dengan demikian sudah tepat jlka definisi asuransi dalam Pasat 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dijadikan titik totak pembahasan dan ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD yang membolehkan orang mengasuransikan jiwanya.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUHD:
“Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian”.
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUHD ditentukan:
“Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal perundang-undangan di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan definisi:
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai penikmatnya”.
Dalam KUHD asuransi jiwa diatur dalam Buku 1 Bab X pasal 302. pasal 308 KUHD. Jadi hanya 7 (tujuh) pasa. Akan tetapi tidak 1 (satu) pasalpun yang memuat rumusan definisi asuransi jiwa. Dengan demikian sudah tepat jlka definisi asuransi dalam Pasat 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 dijadikan titik totak pembahasan dan ini ada hubungannya dengan ketentuan Pasal 302 dan Pasal 303 KUHD yang membolehkan orang mengasuransikan jiwanya.
Menurut ketentuan Pasal 302 KUHD:
“Jiwa seseorang dapat diasuransikan untuk keperluan orang yang berkepentingan, baik untuk selama hidupnya maupun untuk waktu yang ditentukan dalam perjanjian”.
Selanjutnya, dalam Pasal 303 KUHD ditentukan:
“Orang yang berkepentingan dapat mengadakan asuransi itu bahkan tanpa diketahui atau persetujuan orang yang diasuransikan jiwanya”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut, jelaslah bahwa setiap orang dapat mengasuransikan jiwanya, asuransi jiwa bahkan dapat diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Asuransi jiwa dapat diadakan selama hidup atau selama jangka waktu tertentu yang dtetapkan dalam perjanjian.
Sehubungan dengan uraian pasal-pasal perundang-undangan di atas, Purwosutjipto memperjelas lagi pengertian asuransi jiwa dengan mengemukakan definisi:
“Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup (pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dan meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan, mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang yang ditunjuk oleh penutup (pengambil) asuransi sebagai penikmatnya”.
3. Menurut Ketentuan Pasal 246 KUHD
Asuransi atau Pertanggungan adalah Perjanjian
dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima
premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari
suatu evenemen (peristiwa tidak pasti).
Beberapa hal penting mengenai
asuransi:
- Merupakan
suatu perjanjian yang harus memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata;
- Perjanjian
tersebut bersifat adhesif artinya isi perjanjian tersebut sudah
ditentukan oleh Perusahaan Asuransi (kontrak standar). Namun demikian, hal
ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999
tertanggal 20 April 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
- Terdapat
2 (dua) pihak di dalamnya yaitu Penanggung dan Tertanggung, namun dapat
juga diperjanjikan bahwa Tertanggung berbeda pihak dengan yang akan menerima
tanggungan;
- Adanya
premi sebagai yang merupakan bukti bahwa Tertanggung setuju untuk diadakan
perjanjian asuransi;
- Adanya
perjanjian asuransi mengakibatkan kedua belah pihak terikat untuk
melaksanakan kewajibannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
yang harus ada pada Asuransi adalah:
- Subyek
hukum (penanggung dan tertanggung);
- Persetujuan
bebas antara penanggung dan tertanggung;
- Benda
asuransi dan kepentingan tertanggung;
- Tujuan
yang ingin dicapai;
- Resiko
dan premi;
- Evenemen
(peristiwa yang tidak pasti) dan ganti kerugian;
- Syarat-syarat
yang berlaku;
- Polis
asuransi.
III. Jenis Asuransi
Secara garis besar, bidang asuransi terjadi dari tiga kategori, yaitu:
a. Asuransi Kerugian
Terdiri dari asuransi untuk harta benda (property), kepentingan keuangan (pecuniary), tanggung jawab hukum (liability) dan asuransi diri (kecelakaan atau kesehatan
Terdiri dari asuransi untuk harta benda (property), kepentingan keuangan (pecuniary), tanggung jawab hukum (liability) dan asuransi diri (kecelakaan atau kesehatan
b.
Asuransi Jiwa
Yang menyangkut masalah meninggalnya tertanggung dalam periode asuransi atau tetap hidup sampai akhir periode asuransi. Perusahaan asuransi jiwa disamping asuransi kerugian (umum), juga diperbolehkan untuk memasarkan produk asuransi kecelakaan dan kesehatan.
Yang menyangkut masalah meninggalnya tertanggung dalam periode asuransi atau tetap hidup sampai akhir periode asuransi. Perusahaan asuransi jiwa disamping asuransi kerugian (umum), juga diperbolehkan untuk memasarkan produk asuransi kecelakaan dan kesehatan.
c.
Asuransi Sosial
Adalah program asuransi wajib yang diselenggarakan pemerintah berdasarkan UU. Maksud dan tujuan asuransi sosial adalah menyediakan jaminan dasar bagi masyarakat dan tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan komersial.
Adalah program asuransi wajib yang diselenggarakan pemerintah berdasarkan UU. Maksud dan tujuan asuransi sosial adalah menyediakan jaminan dasar bagi masyarakat dan tidak bertujuan untuk mendapatkan keuntungan komersial.
3.TUJUAN
ASURANSI
- B. TUJUAN ASURANSI
- a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi
dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya.
Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak
itu pula risiko beralih kepada penanggung.
- b. Pembayaran Ganti
Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh
terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian),
maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang
dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat
bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total
(total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi
bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh–sungguh
diderita.
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh
perusahaan asuransi berlaku prinsip subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Per)
dimana penggantian hak si berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga
(penanggung/pihak asuransi) – yang membayar kepada si berpiutang (nilai klaim
asuransi) – terjadi baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
- BERLAKUNYA ASURANSI
Hak dan kewajiban penanggung dan
tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum
diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya
aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan
dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal
255 KUHD).
.
POLIS ASURANSI
- 1. Fungsi Polis
Menurut ketentuan pasal 225 KUHD
perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut
polis yang memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang
menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para pihak (penanggung dan
tertanggung) dalam mencapai tujuan asuransi. Dengan demikian, polis merupakan
alat bukti tertulis tentang telah terjadinya perjanjian
asuransi antara tertanggung dan penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat
bukti tertulis maka para pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan
kejelasan isi polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat
yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat menimbulkan
perselisihan (dispute).
- 2. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD,
setiap polis kecuali mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus
berikut ini:
a. Hari dan tanggal pembuatan
perjanjian asuransi;
b. Nama tertanggung, untuk diri
sendiri atau pihak ketiga;
c. Uraian yang jelas mengenai benda
yang diasuransikan;
d. Jumlah yang diasuransikan (nilai
pertanggungan);
e. Bahaya-bahaya/ evenemen yang
ditanggung oleh penanggung;
f. Saat bahaya mulai berjalan
dan berakhir yang menjadi tanggungan penanggung;
g. Premi asuransi;
h. Umumnya semua keadaan yang perlu
diketahui oleh penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara
para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE, jika terjadi
peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian penanggung dapat
berhadapan dengan siapa pemilik atau pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal
287 KUHD menentukan bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
- Letak
barang tetap serta batas-batasnya;
- Pemakaiannya;
- Sifat
dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang berpengaruh
terhadap obyek pertanggungan;
- Harga
barang-barang yang dipertanggungkan;
- Letak
dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat dimana barang-barang
bergerak yang dipertanggungkan itu berada.
Untuk mengetahui perlindungan yang
diberikan oleh suatu polis asuransi, perlu diperhatikan tujuh aspek
penutupannya, yaitu:
- Bencana
yang ditutup;
- Yang
ditutup;
- Kerugian
yang ditutup;
- Orang-orang
yang ditutup;
- Lokasi-lokasi
yang ditutup;
- Jangka
waktu yang ditutup;
- Bahaya-bahaya
yang dikecualikan.
Bagi mereka yang akan bergabung atau menjadi
nasabah perusahaan asuransi perlu mengetahui apa kriteria, pedoman layak
dipertimbangkan ketika akan memilih suatu asuransi. Dalam hubungan ini,
beberapa kriteria atau pedoman tersebut dapat dikemukakan antara
lain :
1. Perusahaan asuransi hanya
menjual program berdasarkan kemampuan nasabah. Jika kemampuan konsumen
tak memenuhi implikasinya pertanggungan putus di tengah jalan.
2. Produk yang dijual sesuai
dengan kebutuhan, artinya kebutuhan nasabah lebih diutamakan. Logikanya produk
yang dibutuhkan masyarakat akan laris di pasaran, oleh sebab itu masyarakat
sudah semakin sadar akan pentingnya suatu program asuransi.
3. Pastikan nasabah yang membeli
polis dalam keadaan sehat. Ini penting agar tidak terjadi penipuan. Nasabah
mengaku sehat, padahal mengidap penyakit, hal ini tentunya akan merugikan pihak
asuransi. Hal ini berkaitan dengan pasal 1338 ayat (3) KUH perdata, yang
menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
4. Ini berkaitan erat dengan
komitmen nasabah dala program atau produk yang dipilih. Tak kalah penting lagi,
asuransi harus dijual dengan tatap muka dalam hal ini tidak bisa menjual
asuransi hanya lewat telepon.
5. Kondisi keuangan perusahaan
asuransi sendiri. Saat
ini ada sebagian perusahaan asuransi cenderung mengulur-ulur waktu ketiga akan
membayar klaim. Oleh sebab itu faktor permodalan lebih menjadi perhatian
perusahaan asuransi tersebut.
Namun dari sekian banyak ketentuan, ketentuan
tersebut, satu hal yang terpenting yaitu perlindungan nasabah yang langsung
dapat dijadikan jaminan oleh semua asuransi yang ada di Indonesia, yakni berupa
polis. Adapun syarat? syarat umum polis harus memperhatikan tiga kepentingan,
yakni :
1. Kepentingan nasabah:
Kepentingan nasabah di sini agar bisa memberikan sesuatu hal yang jelas untuk
kepentingan nasabah atau tertanggung. Nasabah bisa dilindungi, mereka
mendapatkan syarat?syarat yang sama di perusahaan asuransi.
2. Kepentingan instansi pembina atau
pengawas: Yang dimaksud kepentingan instansi pembina, atau pengawas yakni kepentingan
pemerintah melalui direktorat asuransi, apa yang tercantum dalam undang?undang,
peraturan?peraturan pemerintah harus menjadi referensi dan syarat?syarat umum polis
tersebut.
3. Kepentingan industri asuransi: Yang
dimaksud dengan kepentingan industri asuransi adalah industri asuransi harus terlindungi
dari usaha atau itikad buruk pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan diri dari asuransi.
Seperti yang tersebut dalam Pasal 25 KUHD,
bahwa suatu pertanggungan harus dibuat secara tertulis di dalam suatu akta yang
dinamakan polis. Di dalam polis itu sendiri tidak boleh merugikan kepentingan pemegang polis
(nasabah) seperti disebutkan dalam Pasal 11 (bab 1) undang-undang No. 2 tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian. yang menimbulkan penafsiran berbeda mengenai hak dan kewajiban
penanggung maupun tertanggung, yang tertera dalam Pasal 19 ayat (1) undang undang No. 2 tahun 1992. Adapun
dalam Pasal 5 (bab 11) Keputusan Menteri Keuangan No. 225/KMK.O
17/1993, bahwa di dalam polis asuransi dilarang mencantumkan pembatasan upaya
hukum begitu pula yang terdapat pada Pasal 6
Kep. Menkeu. No. 225/KMIK.017/1993, yang
menyatakan bahwa dalam polis dilarang mencantumkan pembatasan upaya hukum,
disamping itu tindakan yang dapat dianggap memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim secara wajar yaitu:
1. Memperpanjang masa penyelesaian
klaim, dengan memilih dokumen lain yang pada dasarnya isi tersebut sama dengan
dokumen yang telah ada.
2. Menunda pembayaran klaim, dengan
mengkaitkan pembayaran klaim reasuransi.
3. Menerapkan prosedur yang tidak
lagi dalam lingkup kegiatan asuransi.
4. Tidak menyelesaikan klaim
dengan mengkaitkan pada penyelesaian klaim yang lain pada polis yang sama.
Di samping itu peran agen dalam kegiatan
agency asuransi yang ada di Indonesia, yakni, harus menyimpan informasi atau
rahasia tentang nasabahnya dan juga tentang eksistensi perusahaannya. Sekali lagi agen harus menjaga kerahasiaan,
ahli waris dan perusahaan serta menyediakan akses hanya untuk mereka.
Oleh karena itu setiap usaha asuransi yang ada di Indonesia mewajibkan semua agen agar mematuhi seluruh kebijakan, peraturan serta prosedur yang diberlakukan. Hal ini untuk menjamin bahwa perusahaan mampu memenuhi janji dan integritas dalam berurusan dengan nasabah. Berkenaan dengan ketentuan ini, tentu akan menimbulkan perselisihan yang mengakibatkan kerugian atau akibat hukum.
Oleh karena itu setiap usaha asuransi yang ada di Indonesia mewajibkan semua agen agar mematuhi seluruh kebijakan, peraturan serta prosedur yang diberlakukan. Hal ini untuk menjamin bahwa perusahaan mampu memenuhi janji dan integritas dalam berurusan dengan nasabah. Berkenaan dengan ketentuan ini, tentu akan menimbulkan perselisihan yang mengakibatkan kerugian atau akibat hukum.
SYARAT
SAH
a. Kesepakatan (consensus)
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
a. Benda yang menjadi objek asuransi
b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
c. Evenemen dan ganti kerugian
d. Syarat-syarat khusus asuransi
e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
Tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan tersebut pada pokoknya meliputi:
a. Benda yang menjadi objek asuransi
b. Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
c. Evenemen dan ganti kerugian
d. Syarat-syarat khusus asuransi
e. Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Pengadaan perjanjian antara tertanggung dan penanggung dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung. Dilakukan secara langsung artinya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi tanpa melalui perantara. Dilakukan secara tidak langsung artimya kedua belah pihak mengadakan perjanjian asuransi melalui jasa perantara. Penggunaan jasa perantara memang dibolehkan menurut undang-undang. Dalam Pasal 260 KUHD ditentukan, apabila asuransi diadakan dengan perantaraan seorang makelar maka polis yang sudah ditandatangani harus diserahkan dalam waktu 8 (delapan hari setelah perjanjian dibuat. Dalam pasal 5 huruf (a) undang-undang No. 2 Tahun 1992 ditentukan, perusahaan pialang Asuransi dapat menyelenggarakan usaha dengan bertindak mewakili tertanggung dalam rangka transaksi yang berkaitan dengan kontrak asuransi. Perantara dalam KUHD disebut makelar, dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 disebut Pialang.
Kesepakatan antara tertanggung dan penanggung itu dibuat secara bebas, artinya tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu. Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 1992 ditentukan bahwa penutupan asuransi atas objek asuransi harus didasarkan pada kebebasan memilih penanggung kecuali bagi program Asuransi Sosial. Ketentuan ini dimaksud untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Hal ini dipandang perlu mengingat tertanggung adalah pihak yang paling berkepentingan atas objek yang diasuransikan, jadi sudah sewajarnya apabila mereka secara bebas tanpa pengaruh dan tekanan dari pihak manapun dalam menentukan penanggungnya.
b. Kewenangan (authority)
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kedua pihak tertanggung dan penanggung wenang melakukan perbuatan hukum yang diakui oleh undang-undang. Kewenangan berbuat tersebut ada yang bersifat subjektif dan ada yang bersifat objektif.
Kewenangan subjektif artinya kedua
pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan
(trusteeship), dan pemegang kuasa yang sah.
Kewenangan objektif artinya tertanggung
mempunyai hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah
kekayaan milknya sendiri. Sedangkan penanggung adalah pihak yang sah mewakili
Perusahaan Asuransi berdasarkan Anggaran Dasar Perusahaan. Apabila asuransi
yang diadakan itu untuk kepentingan pihak ketiga maka tertanggung yang
mengadakan asuransi itu mendapat kuasa atau pembenaran dari pihak ketiga yang
bersangkutan.
Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
Kewenangan pihak tertanggung dan penanggung tersebut tidak hanya dalam rangka mengadakan perjanjian asuransi, melaikan juga dalam hubungan internal di lingkungan Perusahaan Asuransi bagi penanggung, dan hubungan dengan pihak ketiga bagi tertanggung, misalnya jual beli objek asuransi, asuransi untuk kepentingan pihak ketiga. Dalam hubungan dengan perkara asuransi di muka pengadilan, pihka tertanggung dan penanggung adalah berwenang untuk bertindak mewakili kepentingan pribadinya atau kepentingan Perusahaan Asuransi.
c. Objek Tertentu (fixed object)
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang mengadakan asuransi tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada. Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan, dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.
Objek tertentu dalam Perjanjian Asuransi adalah objek yang diasuransikan, dapat berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan dapat pula berupa jiwa atau raga manusia. Objek tertentu berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan terdapat pada Perjanjian Asuransi kerugian sedangkan objek tertentu berupa jiwa atau raga manusia terdapat pada Perjanjian Asuransi jiwa. Pengertian objek tertentu adalah bahwa identitas objek asuransi tersebut harus jelas. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa, berapa jumlah dan ukurannya dimana letaknya, apa mereknya, butan mana, berapa nilainya dan sebagainya. Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
Karena yang mengasuransikan objek itu adalah tertanggung, maka dia harus mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan objek asuransi itu. Dikatakan ada hubungan langsung apabila tertanggung memiliki sendiri harta kekayaan, jiwa atau raga yang menjadi objek asuransi. Dikatakan ada hubungan tidak langsung apabila tertanggung hanya mempunyai kepentingan atas objek asuransi. Tertanggung harus dapat membuktikan bahwa dia adalah sebagai pemilik atau mempunyai kepentigan atas objek asuransi.
Apabila tertanggung tidak dapat membuktikannya, maka akan timbul anggapan bhwa tertanggung tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan asuransi batal (null and void). Undang-undang tidak akan membenarkan, tidak akan mengakui orang yang mengadakan asuransi tetapi tidak mempunyai kepentingan (interest). Walau pun orang yang mengadakan asuransi itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan objek asuransi, dia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa asuransi itu diadakan. Jika tidak demikian maka asuransi itu dianggap tidak ada. Menurut ketentuan Pasal 599 KUHD, dianggap tidak mempunyai kepentingan adalah orang yang mengasuransikan benda yang oleh undang-undang dilarang diperdagangkan, dan kapal yang mengangkut barang yang dilarang tersebut. Apabila diasuransikan juga, maka asuransi tersebut batal.
d. Kausa yang Halal (legal cause)
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Contoh asuransi yang berkuasa tidak halal adalah mengasuransikan benda yang dilarang undang-undang untuk diperdagangkan, mengasuransikan benda tetapi tertanggung tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulai yang sama dengan perjudian. Asuransi bukan perjudian dan pertaruhan.
Berdasarkan kausa yang halal itu, tujuan yang hendak dicapai oleh tertanggung dan penanggung adalah beralihnya risiko atas objek asuransi yang diimbangi dengan pembayaran premi. Jadi kedua belah pihak berprestasi tertanggung membayar premi, penanggung menerima peralihan risiko atas objek asuransi. Jika premi dibayar, maka risiko beralih. Jika premi tidak dibayar, risiko tidak beralih.
e.
Pemberitahuan (notification)
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausa ”sudah diketahui”.
Dalam buku I Bab IX KUHD, menyebutkan syarat- khusus sahnya perjanjian asuransi, yaitu :
1. Asas indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri. Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung.
2. Asas kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan asas utama kedua dalam perjanjian asuransi/pertanggungan. Maksudnya adalah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.
3. Asas kejujuran yang sempurna dalam perjanjian asuransi, lazim juga dipakai istilah-istilah lain yaitu: iktikad baik yang sebaik-baiknya. Asas kejujuran ini sebenarnya merupakan asas bagi setiap perjanjian, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
4. Asas subrogasi bagi penanggung meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perjanjian asuransi, perlu dibahas, karena merupakan salah satu asas perjanjian asuransi yang selalu ditegakkan pada saat-saat dan keadaan tertentu dalam rangka menerapkan asas pertama perjanjian asuransi ialah dalam rangka tujuan pemberian ganti rugi ialah asas indemnitas.
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi. Kewajiban ini dilakukan pada saat mengadakan asuransi. Apabila tertanggung lalai, maka akibat hukumnya asuransi batal. Menurut ketentuan Pasal 251 KUHD, semua pemberitahuan yang salah, atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung tentang objek asuransi, mengakibatkan asuransi itu batal. Kewajiban pemberitahuan itu berlaku juga apabila setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Kewajiban pemberitahuan Pasal 251 KUHD tidak bergantung pada ada itikad baik atau tidak dari tertanggung. Pabila tertanggung keliru memberitahukan, tanpa kesengajaan, juga mengakibatkan batalnya asuransi, kecuali jika tertanggung dan penanggung telah memperjanjikan lain. Biasanya perjanjian seperti ini dinyatakan dengan tegas dalam polis dengan klausa ”sudah diketahui”.
Dalam buku I Bab IX KUHD, menyebutkan syarat- khusus sahnya perjanjian asuransi, yaitu :
1. Asas indemnitas adalah satu asas utama dalam perjanjian asuransi, karena merupakan asas yang mendasari mekanisme kerja dan memberi arah tujuan dari perjanjian asuransi itu sendiri. Perjanjian asuransi mempunyai tujuan utama dan spesifik ialah untuk memberi suatu ganti kerugian kepada pihak tertanggung oleh pihak penanggung.
2. Asas kepentingan yang dapat diasuransikan merupakan asas utama kedua dalam perjanjian asuransi/pertanggungan. Maksudnya adalah bahwa pihak tertanggung mempunyai keterlibatan sedemikian rupa dengan akibat dari suatu peristiwa yang belum pasti terjadinya dan yang bersangkutan menjadi menderita kerugian.
3. Asas kejujuran yang sempurna dalam perjanjian asuransi, lazim juga dipakai istilah-istilah lain yaitu: iktikad baik yang sebaik-baiknya. Asas kejujuran ini sebenarnya merupakan asas bagi setiap perjanjian, sehingga harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
4. Asas subrogasi bagi penanggung meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya perjanjian asuransi, perlu dibahas, karena merupakan salah satu asas perjanjian asuransi yang selalu ditegakkan pada saat-saat dan keadaan tertentu dalam rangka menerapkan asas pertama perjanjian asuransi ialah dalam rangka tujuan pemberian ganti rugi ialah asas indemnitas.
- . Jenis Klausula
Asuransi
Dalam perjanjian asuransi sering
dimuat janji-janji khusus yang dirumuskan secara tegas dalam polis, yang lazim
disebut Klausula asuransi yang maksudnya untuk mengetahui batas tanggung jawab
penanggung dalam pembayaran ganti kerugian apabila terjadi peristiwa yang
menimbulkan kerugian. Jenis-jenis asuransi tersebut ditentukan oleh sifat objek
asuransi itu, bahaya yang mengancam dalam setiap asuransi. Klausula-klausula
yang dimaksud antara lain:
a. Klausula Premier Risque
Klausula ini menyatakan bahwa apabila
pada asuransi dibawah nilai benda terjadi kerugian, penanggung akan membayar
ganti kerugian seluruhnya sampai maksimum jumlah yang diasuransikan (Pasal
253 ayat 3 KUHD). Klausula ini biasa digunakan pada asuransi pembongkaran
dan pencurian, asuransi tanggung jawab.
b. Klausula All Risk
Klausula ini menentukan bahwa
penanggung memikul segala resiko atau benda yang diasuransikan. ini berarti
penanggung akan mengganti semua kerugian yang timbul akibat peristiwa apapun,
kecuali kerugian yang timbul karena kesalahan tertanggung sendiri (Pasal
276 KUHD) dan karena cacat sendiri bendanya (Pasal 249 KUHD).
- Klausula
Total Loss Only (TLO)
Klausula ini menentukan bahwa
penanggung hanya menanggung kerugian yang merupakan kerugian
keseluruhan/total atas benda yang diasuransikan.
- d. Klausula Sudah
Diketahui (All Seen)
Klausula ini digunakan pada asuransi
kebakaran. Klausula ini menentukan bahwa penanggung sudah mengetahui keadaan,
konstruksi, letak dan cara pemakaian bangunan yang diasuransikan.
- e. Klausula Renunsiasi (Renunciation)
Menurut Klausula penanggung tidak
akan menggugat tertanggung, dengan alasan pasal 251 KUHD, kecuali jika hakim
menetapkan bahwa pasal tersebut harus diberlakuan secara jujur atau itikad baik
dan sesuai dengan kebiasaan. berarti apabila timbul kerugian akibat evenemen
tertanggung tidak memberitahukan keadaan benda objek asuransi kepada
penanggung, maka penanggung tidak akan mengajukan pasal 251 KUHD dan penanggung
akan membayar klaim ganti kerugian kepada tertanggung.
- Klausula Free Particular Average (FPA)
Bahwa penaggung dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti kerugian yang timbul akibat peristiwa khusus di laut (Particular
Average) seperti ditentukan dalam pasal 709 KUHD dengan kata lain
penanggung menolak pembayaran ganti kerugian yang diklaim oleh tertanggung yang
sebenarnya timbul dari akibat peristiwa khusus yang sudah dibebaskan klausula
FPA.
- g. Klausula Riot, Strike & Civil
Commotion (RSCC)
Riot (kerusuhan) adalah
tindakan suatu kelompok orang, minimal sebanyak 12 orang, yang dalam
melaksanakan suatu tujuan bersama menimbulkan suasana gangguan ketertiban umum
dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta pengrusakan harta benda orang
lain, yang belum dianggap sebagai huru-hara.
Strike (pemogokan) adalah
tindakan pengrusakan yang disengaja oleh sekelompok pekerja, minimal 12 orang
pekerja atau separuh dari jumlah pekerja (dalam hal jumlah seluruh pekerja
kurang dari 24 orang),yang menolak bekerja sebagaimana biasanya dalam usaha
untuk memaksa majikan memenuhi tuntutan dari pekerja atau dalam melakukan
protes terhadap peraturan atau persyaratan kerja yang diberlakukan oleh
majikan.
Civil Commotion (huru-hara) adalah
keadaan di suatu kota dimana sejumlah besar massa secara bersama-sama atau
dalam kelompok-kelompok kecil menimbulkan suasana gangguan ketertiban dan
keamanan masyarakat dengan kegaduhan dan menggunakan kekerasan serta rentetan
pengrusakan sejumlah besar harta benda, sedemikian rupa sehingga timbul
ketakutan umum, yang ditandai dengan terhentinya lebih dari separuh kegiatan
normal pusat perdagangan/pertokoan atau perkantoran atau sekolah atau
transportasi umum di kota tersebut selama minimal 24 jam secara terus menerus
yang dimulai sebelum, selama atau setelah kejadian tersebut.
Banker’s Clause atau
Klausula Bank adalah suatu klausula yang tercantum dalam Polis yang hanya
dicantumkan atas permintaan pihak Bank dimana dalam polis secara tegas
dinyatakan bahwa Pihak Bank adalah sebagai penerima ganti rugi atas peristiwa
yang terjadi atas obyek pertanggungan sebagaimana disebutkan dalam perjanjian
asuransi (polis).
Klausula ini muncul sebagai akibat
adanya hubungan hutang piutang antara Debitur dan Kreditur dimana obyek
pertanggungan adalah menjadi jaminan Bank; sehingga klausula ini bukan
merupakan standard yang pada umumnya tercantum dalam Polis.
- F. BATALNYA ASURANSI
Suatu pertanggungan atau
asuransi karena pada hakekatnya adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat
pula diancam dengan resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi
syarat syahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang
ancaman batal apabila dalam perjanjian asuransi:
- Memuat
keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila tertanggung tidak
memberitahukan hal-hal yang diketahuinya sehingga apabila hal itu
disampaikan kepada penanggung akan berakibat tidak ditutupnya perjanjian
asuransi tersebut (Pasal 251 KUHD);
- Memuat
suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi ditandatangani (Pasal
269 KUHD);
- memuat
ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan melalui pengadilan
membebaskan si penanggung dari segala kewajibannya yang akan datang (Pasal
272 KUHD);
- Terdapat
suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si tertanggung (Pasal
282 KUHD);
- Apabila
obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak boleh
diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik kapal Indonesia atau kapal asing
yang digunakan untuk mengangkut obyek pertanggungan menurut peraturan
perundang-undangan tidak boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
G.
SANKSI
Terhadap pelanggaran ketentuan yang
dilakukan Penanggung dan Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa:
- Sanksi
Administratif, (berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada
tertanggung); dan
- Sanksi
Pidana.
- 1. Sanksi Administratif
Setiap Perusahaan Perasuransian yang
tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal
30 Oktober 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”)
serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
- Perizinan
usaha;
- Kesehatan
keuangan;
- Penyelenggaraan
usaha;
- Penyampaian
laporan;
- Pengumuman
neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi
pembatasan kegiatan usaha dan sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP
No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37,
maka terhadap:
- Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak menyampaikan laporan
keuangan tahunan dan laporan operasional tahunan dan atau tidak
mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, sesuai dengan jangka waktu
yang ditetapkan, dikenakan denda administratif Rp. 1.000.000.000 (satu
juta Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
- Perusahaan
Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai dengan jangka waktu yang
ditetapkan dikenakan denda administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu
Rupiah) untuk setiap hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).
- 2. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dikenakan pada
kejahatan perasuransian yang diatur dalam Pasal 21 UU Asuransi, berikut ini:
- a. Terhadap pelaku utama
Orang yang menjalankan atu menyuruh
menjalankan usaha perasuransian tanpa izin usaha, menggelapkan premi asuransi,
menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa
hak kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau
perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus
juta Rupiah).
- b. Terhadap pelaku pembantu
Orang yang menerima, menadah,
membeli, atau mengagunkan atau menjal kembali kekayaan perusahaan hasil
penggelapan dengan cara tersebut yang diketahuinya atau patut diketahuinya
bahwa barang–barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau
Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, dianjam dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000
(lima ratus juta Rupiah).
- c. Terhadap pemalsu
dokumen
Orang yang secara sendiri–sendiri
atau bersama–sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian
atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 250.000.000 (dua ratus
lima puluh juta Rupiah).
CASINO - JT Marriott Resort Hotel
ReplyDeleteSearching for an ideal casino hotel in 과천 출장마사지 Johannesburg - 수원 출장마사지 Book a 제주 출장샵 quick getaway to 부천 출장샵 JT Marriott! Our hotel offers 4 restaurants, an on-site 김포 출장샵